Pramudya Ananta Toer
Saturday 23 October 2004 - Filed under asupan gizi + isu indonesia + tokoh
Jakarta masih saja bising.
Gerah rasanya dengan polusi yang semakin membuat pengap lubang hidung dan saluran paru-paru. Tapi tidak di ruas jalan Multikarya II Utan Kayu. Adem. Tapi terkoyak. Meski jalan itu tampak tak ada belokan, tetap saja tidak bisa dikatakan lurus. Adakah sejarah ini ditulis lurus dan tak terkoyak? Pun jalan ini. Orang bisa membayangkan bahwa sesungguhnya banyak kelokan pada setiap lubang semut di pinggir got. Sayang, tak ada yang melihatnya tak lurus.
Di sebuah rumah, seseorang memberikan tangannya. “Selamat siang,” jabatnya hangat, sehangat cerita-cerita yang pernah ditulisnya. Ia adalah Pram. Pramudya Ananta Toer. Usianya 78 tahun. Ia berjalan dengan dibantu dengan tongkat. Tongkat itu tampak kokoh. Sekokoh orang yang dibantunya berjalan. Ia mengenakan celana panjang kaus berwarna hitam dengan strip biru di sisinya. Kaus kakinya berwarna biru terang. Sepatu ketsnya tampak gaul, jauh dari usianya yang renta. Sepatu kets itu tidak membungkus ujung belakang kaki, tetapi seperti dibelah di bagian pergelangan kaki. Jaket coklat mudanya lusuh, membungkus kaos biru mudanya yang juga barangkali seusia dengan jaket itu. Tak lupa, satu pena mencoba bersembunyi di saku kiri jaketnya.
Sosok yang ada di depan saya ini tak lagi sama persis dengan poster film yang tertempel di dinding rumahnya, dan yang saya tonton di Bali setahun silam. Guratan garis di dahinya sudah mulai tak tampak kini. ‘Jalan Raya Pos’, sebuah film tentang angan-angan besar Si Tuan Besar Guntur Herman Willem Daendels untuk membangun jalan antara Pantai Anyer hingga Panarukan. Pram berada di film itu, mencoba menziarahi sejarah tentang Tuan Besar Guntur. Pram juga bertutur tentang aktivitas sehari-harinnya dari bangun tidur, kemudian push up dan cerita-ceritanya sebagai gerilyawan melawan Blanda hingga ia menjadi tapol.
Film “Jalan Raya Pos” (De Groote Postweg) ini berdurasi 155 menit, disutradarai Bernie Ijdis ini bukan hanya mengguncagkan ingatan bangsa Indonesia tentang Daendels. Lebih dari itu, film ini ingin menampilkan kehidupan di sisi jalan yang sudah dibangun Daendels 150 tahun silam. Di film itu, Pram menarikan jari-jarinya di mesin ketik yang sudah usang, menggelisahkan Tuan Besar Guntur yang kejam dan mengerikan. Tuan Besar Guntur menggantung kepala penguasa pribumi dan para pekerja di pucuk pepohonan di kanan-kiri ruas jalan, kalau pekerjaan dan target yang ingin dicapainya tak terpenuhi.
Tapi Pram pun menggelisahkan dirinya sendiri. Sejarah sudah meminggirkan hidupnya. Kenapa sejarah memojokkannya? Tak ada yang tahu. Bukan karena bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia ia dipenjarakan oleh tentara di jaman Sukarno pada tahun 1960. Bukan pula karena ia novelis sejarah ia dipenjarakan oleh Suharto. Juga, bukan karena ia kerap bersuara lantang hingga ia masih menjadi tahanan rumah, tahanan kota dan tahanan negara, hingga tahun 1999. Semata-mata adalah karena sejarah memang tak bersahabat dengannya.
“13 oktober 1965, rumah saya diserbu tentara,” ujarnya dengan pita suara bergetar. Saat itu, semua yang menjadi miliknya dirampas, Pram diambil paksa dan dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun. “Saya pergi dengan pakaian yang melekat di tubuh saya. Militer, Angkatan darat yang menyerbu!” tegasnya. 10 dari 14 tahun dihabiskannya sebagai pekerja paksa bersama 12.000 tahanan politik lainnya. Apakah mereka bersalah sehingga harus dibuang di kamp yang dikitari laut dengan stempel palu arit di jidat mereka? Komunis atau tak komunis, tak jadi soal disana. Yang menjadi soal adalah, bagaimana kemudian sejarah berpihak kepada mereka.
Pram dan sejumlah tahanan politik yang lain agaknya tak bisa menawar atas sesuatu yang menyeretnya ke Pulau Buru. Mereka hanya bisa berharap bahwa suatu saat nanti orang republik tidak lagi memusuhi orang republik. “Bukan hanya penyiksaan yang terjadi di Pulau Buru, tetapi juga pembunuhan,” kata Pram.
Tak terbayangkan oleh Pram atau yang lainnya, bahwa mereka harus berburu kijang, harus berbaur dengan masyarakat asing, bahkan harus bercerai dengan istri mereka di pulau Jawa. Kesetiaan menjadi harga yang mahal yang harus ditebus hingga 14 tahun lamanya. “Saya masuk sebagai ‘pembuka pintu’ di Pulau Buru, dan saya pula sebagai ‘penutup pintu’, bersama Pram,” ujar Tumiso, seorang kawan dekat Pram di Pulau Buru. Mereka bersama-sama datang pertama kali, dan mereka pula yang terakhir dibebaskan. Adakah ironi yang lebih bagus daripada itu?
Kalau saja mereka bisa memilih gulag yang lebih manusiawi ketimbang Pulau Buru, mereka tentu akan memilih yang lain. Inilah gulag yang paling keras dan paling angkuh yang harus dihadapi tahana politik 1965/1966, termasuk pramudya ananta toer. Tapi Pram menghadapi itu semua, dengan kegelisahan akan Indonesia yang pun tak pernah selesai untuk diletakkan dalam sederetan novel sejarahnya.
Tulisan Pram, Kranji-Kranji Jatuh dan Keluarga Gerilya, diterbitkan oleh The Voice of Free Indonesia di Jakarta tahun 1947. Karya yang terakhir itu ditulisnya saat ia dibuikan di Bukit Duri tahun 1947. Kedua tulisan sastranya itu agaknya tidak ramah dengan kekuasaan. Tetapi, adakah yang ramah dengan kekuasaan? Toh sejarah tak pernah berhenti di sini. Pun sejarah tetang kekuasaan yang tak pernah ramah terhadap siapapun. Itulah Pram, yang tak bisa mengelak dari persengketaan dengan sejarah yang dibuat bangsa ini.
34 tahun Pram dipenjara. Adakah ia komunis, atau pancasilais? “Rezimnya Suharto itu rejim bandit saja yang hanya memikirkan bagaimana mendapat duit saja dengan jalan yang murah. Tidak pernah ada pengadilan, bagaimana saya tahu tuduhan yang dituduhkan pada saya,” getaran pita suara dan tuturan pelan ucapan Pram, tetap saja terasa menghentak telinga. “Karya saya sudah diterjemahkan lebih dari 35 bahasa di seluruh dunia. Seluruh isi di perpustakaan saya dibakar, dokumentasi yang saya kumpulkan sejak abad-abad yang lalu, dibakar. Waktu itu belum ada mesin fotokopi, semuanya harus disalin. Naskah saya dibakar, yang belum pernah terbit ada delapan,” paparnya. Ia pun menyeruput rokok Jarum Super-nya.
Kenapa banyak karya yang belum sempat diterbitkan saat itu? “Karena saya dituduh komunis.” Jawabannya menghantam dan menyesakkan dada. Adakah yang terlewatkan dari komunisme ketimbang melapukkan karya sastra Pram? Yang tak lurus, tak boleh beriringan bersama republik ini. kalau demikian, apa artinya kemerdekaan?
Sejarah seakan mengeluarkan suara paraunya untuk Pram, bahwa kemudian ia tak bisa bersekutu dengan kekuasaan yang tak pernah bijak. Pram pun galau dengan sejarah yang menjepitnya. Lantas, dimana ia meletakkan Indonesia? Tampaknya nasionalisme kemudian dibungkusnya dengan sangat rapi dan disimpan dalam sudut rumahnya yang paling gelap. Tapi sejarah hidupnya tak berakhir sampai di situ. “Yang terjadi di Indonesia saat ini, sejak 1965 adalah kehancuran yang tidak terpulihkan. Aparat negara begitu dapat jabatan langsung jadi maling. Hukum sudah jadi barang dagangan. kalau menurut saya, suatu negara yang tidak bisa menjalankan hukumnya, bubar saja.”
Tak melulu optimisme yang ada di otak Pram. Pesimisme pun bisa lahir tiba-tiba, dari kegelisahaannya. Pun gagasan-gagasan megah soal bagaimana sejarah Indonesia ini harus ditorehkan. Semata-mata ia ada bukan takdir Indonesia. Ia ada karena ia adalah sejarah Indonesia. “Saya makin membacai sejarah, makin kebakaran sendiri saya. Saya tak ingin berpikir soal Indonesia, bisa kebakaran sendiri saya nanti. Saya hidup untuk diri saya sendiri saja.” Agaknya Pram memang perlu menjadi congkak untuk Indonesia, bangsa yang membuatnya ciut oleh sejarah yang geram.
Pram adalah simbol abadi yang gagah menantang sejarah: sejarah kekuasaan, sejarah penindasan, sejarah kekerasan, sejarah represif sebuah rejim. Tak hanya ikon Indonesia, tetapi juga ikon dunia. Disanalah Pram ada. “Karya terakhir saya yang mungkin nanti akan terbit adalah kumpulan surat dan catatan harian,” katanya lirih.
Darinya nanti kita bisa belajar, bukan karena ia adalah penulis atau novelis besar, tetapi karena ia adalah sebuah sejarah.
2004-10-23 » Femi Adi