Buku kecil dari cupid
Friday 17 November 2006 - Filed under cerita cinta + renanda
kemarin pagi, saya melihat dia di ujung sana.
iya, dia tengah sibuk menggosok mata panahnya. agar lebih tajam. agar lebih meninggalkan gurat yang dalam. sejak kemarin saya sudah melambaikan tangan padanya. ah, bukan, bukan. bahkan sejak tahun lalu saja menungguinya. saya setia duduk di beranda rumah. melihatnya mengasah mata panah. melambai padanya. dia hanya mengangguk. tersenyum. menggeleng-gelengkan kepalanya. dan menggosok lagi. sesekali, saya melihatnya membaca buku kecil namun sangat tebal.
cupid.
ya, dia adalah cupid, malaikat cinta. saya mengenalnya sejak delapan tahun silam. dia tidak menghampiri saya setiap saat. namun, bila musim merah jambu itu tiba, dia selalu datang, mengusung buntalan kecil, dan mengepakkan sayapnya.
tetapi saat ini saya masih ada di sini. duduk di beranda rumah dan menungguinya menghampiri saya. menembuskan mata panahnya yang terasah tajam.
semalam, saya lihat dia ada di rumah teman sekolah saya dulu. cupid menarik mata panah yang tajam itu dari buntalan kecil, meletakkan dalam busur, dan menariknya cepat. bunga merah jambu lantas berguguran dari langit, ke rumah teman saya. beberapa wkatu yang lalu saya juga melihat cupid mengibaskan sayapnya di pelataran kantor teman saya. sontak, angin yang berwarna merah jambu langsung menghembus.
senangnya menjadi cupid. ia hanya bertugas untuk mencatat setiap keinginan yang datang dari hati. menghampiri si pemilik hati. memanahnya dengan mata panah yang tajam yang ditarik dengan kuat dari busur panahnya. memulasnya dengan cat berwarna merah jambu. dan mengguyurinya dengan kelopak mawar marna merah jambu, atau warna salem.
selanjutnya, cupid akan sesekali menghampiri dan membasuh hati dengan bulir-bulir rindu, kecupan tengah hari, kelingking yang saling bertautan dan senyum yang meneduhkan.
semalam, saya meninggalkan pesan untuk cupid. saya meletakkan secarik kertas berwarna kuning dibawah bunga mawar merah. saya tulis disana, “kapan kamu menyisipkan mata panahmu yang sudah kamu asah ke hatiku?”
dan pagi ini saya mendapatkan bungkusan kecil. ya, sebuah buku kecil yang ditulisi cupid,
“femi sayang, saya masih ingat betul kapan menyisipkan mata panah yang sudah saya asah ke hatimu. saat itu, terakhir saya mengecat hati kamu dengan kuas merah dan cat merah jambu. itu tahun lalu. iya, tahun lalu. saat gema takbir berkumandang, saat musim merah jambu datang, saya mengecat hatimu dengan sempurna. tapi maaf ya, keteduhan itu tak lama singgah di hati kamu. tahu kenapa? karena dia bukan yang terbaik untukmu …
“hmmh … femi, betapa waktu cepat sekali bergulir ya. saya menancapkan mata panah yang tajam ke hatimu lagi. lagi. lagi. lagi. lagi. tapi saya juga harus segera menariknya lagi. menariknya lagi. menariknya lagi. ya, femi. saya membatalkan panah yang tajam yang sudah tertancap di hati kamu.
“saya membatalkannya karena … karena kamu kelak akan mendapatkan satu yang terbaik untuk kamu. bukan dia, yang kamu jumpai di tengah kerumunan wartawan di kantor pajak. bukan dia, yang kemudian tahun lalu kamu nobatkan sebagai tahun bule australia. bukan pula dia, yang di setiap senja selalu duduk bersamamu dan menyeduh teh sembari menanti senja habis. bukan pula dia-dia-dia-dia …
“suatu hari nanti kamu akan menjumpai lelaki yang memberi keteduhan yang sangat. lelaki yang genggaman tangannya menguatkan. lelaki yang bisa diajak untuk berbagi tutur. lelaki yang bisa bersinergi denganmu. lelaki yang tak pelit untuk mengobral segudang tawa dan sebentuk senyum. lelaki yang menggurat senja dan menemanimu menghabiskan teh di sore hari. lelaki yang … saya masih mencatat kriteria kamu, femi.
“saat ini, bersyukurlah femi. kamu dikelilingi oleh teman-teman dan sahabat-sahabat terbaikmu. tenang. akan aku sisakan satu panah cinta untukmu …”
owh … iya, iya.
saya mendekap buku itu, beranjak mandi dan berangkat bekerja. hari ini langkah saya terasa ringan.
2006-11-17 » femi adi soempeno