Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

Terus menangis terus

Monday 12 March 2007 - Filed under cerita bumijo

Saya tak pernah bisa menemukan jawaban, mengapa saya masih terus saja menangis saat mengunjungi mereka.

Kemarin, dua buket bunga aster berwarna merah marun saya gotong dari Jogja ke rumah ayah dan ibu. Rumah mereka bersih, rapi. Memasuki halaman rumah mereka, keceriaan masih membungkus langkah saya. “Hello dad! Mom … ” seperti biasanya.

Dan saya memunguti beberapa bunga kering yang ada di pekarangan mereka. Dan saya masih terus berbicara dengan mereka. Saya berceloteh tentang matahari yang hangat yang saya petik dari langit Mboro. Saya juga bercerita tentang harum angin dan pepohonan saat saya menerjang aspal rusak dalam perjalanan ke Mboro. Pada mereka saya bilang, usai liputan ke Mboro saya membungkus satu selimut putuh bersih dan hangat.

Saya duduk di teras. Ayah dan ibu mengamati saya lekat-lekat. “Kalian sedang apa?” tanya saya. Kemudian saya lihat mereka saling berpandangan dan tersenyum ke arah saya.

Ayah, ibu. Saya sudah bilang sama Dia supaya selalu memberi kalian rasa bahagia yang tak berkesudahan. Saya juga sudah minta Dia untuk menyetip kesalahan-kesalahan kecil yang pernah kalian bikin. Misalnya, memarahi Esti dengan menabok-nabok pantatnya saat dia masih kecil dulu, melarang si bungsu ini berhujan-hujan, memarahi si bungsu karena sering pulang larut, memarahi lantaran si bungsu merusakkan panci.

Tetapi ayah, ibu, saya juga bilang terimakasih sama Dia karena sudah memberikan kalian untuk saya dan Esti. Elusan kasih kalian. Kebesaran hati kalian. Kecupan tengah hari kalian. Dalam dua tangan yang menari di atas keyboard computer ini, juga menitis darah kalian.

Saya menangis. Sampai butiran bening ini habis.

Sejatinya tabungan selama seminggu ini bukanlah tabungan tangisan yang akan saya pecah di depan rumah ayah dan ibu. Ini adalah tabungan rindu. Hanya saja, saya tidak pernah tahu mengapa saya masih terus saja menangis saat mengunjungi mereka.

(ps: saya meninggalkan buku saya di rumah. Ayah dan ibu harus baca ya!)

2007-03-12  »  femi adi soempeno

Talkback x 3

  1. cyn
    21 March 2007 @ 7:19 pm

    *sepichles* ….
    andai bisa menitikan air mata untuk saat mencari kelegaan

  2. musafir muda
    22 March 2007 @ 5:52 am

    Aku jarang menangis. Lupa menangis. Amnesia menangis. Saat jiwa kakek meloncat dari tubuh rentanya, aku tidak menangis. Saat adikku mengerang kesakitan lantaran ulu hatinya terbakar alkohol, aku tidak menangis. Saat ibuku menangis, aku tidak menangis. Aku memilih beku. Aku mencoba mengingat-ingat kapan terakhir aku menangis. Aku ingat sepotong waktu saat senyap dan kosong menjadi tamu di penghujung malam. Waktu itu, mataku becek oleh butiran kristal basah. Tapi, aku lupa aku menangisi apa atau siapa? Yang jelas, waktu itu aku pernah menangis…

  3. cyn
    24 March 2007 @ 9:36 pm

    2 musafir muda: been there n fortunately.. still doing that.. (tidak bisa menangis)