Tokiko Onose
Tuesday 8 April 2008 - Filed under cerita cinta + friends from heaven
Tokiko Onose, kisah cinta yang tak pernah usang.
saya mengintipnya kembali. iya, cerita yang sudah saya mulai beberapa waktu lalu. cerita cinta. tidak pernah usang. tapi nyatanya akan mengusang. menua. dan, mungkin terlupa.
humm. tidak. saya tidak akan membuatnya terlupa begitu saja. saya tidak akan membuatnya hilang seiring dengan rambut yang memutih dan punggung yang membongkok. ingatan itu tak akan hilang. saya akan membuatnya abadi, dan lebih abadi, dan tetap abadi. iya. tokiko onose.
Aku hanya terpekur di ruangan ini. Kosong. Hampa. Hatiku meluruh.
Reroncean ingatan melayang dari ratusan kertas yang tertempel lekat di lima sisi dinding kamar di rumah jompo ini. Jendela besar di sisi yang lain, menghampar menantang mentari pagi. Hangat. Tapi, kosong. Menabrakkan pandangan ke dinding kamar ini, hanya kenangan yang aku punya. Ratusan kartu pos tanpa perangko. Buku saku golf. Topi golf. Pita putih dengan corak jantung hati berwarna merah. Surat-surat yang diketik dengan font 12 times new roman, align text left. Sumpit kayu. Kartu ulang tahun. Kartu tahun baru. Compact disc lawas Michael Bubble.
Aku mengenal coretan tangan di kartupos itu. Goresan pulpen yang tidak pernah ditulis dengan terburu-buru. Sebagian mengabarkan rasa rindu. Sebagian mengabarkan cerita tentang telepon cinta yang berjejak. Semuanya adalah tentang ingatan yang terawat dengan baik. Hingga kini. Hingga berpuluh-puluh tahun usai catatan itu dibuat dan melapuk. Tapi ingatannya tak pernah usang karena pemiliknya merawatnya dengan baik.
Tangan keriput ini menyapu setiap dinding yang tertempel penuh dengan kertas-kertas itu. Gemetar. Ada keharuan saat permukaan tangan ini beradu dengan kertas-kertas yang menua. Aku tahu, tangan ini tak lagi perkasa untuk menyentuhnya dengan tekanan yang kuat. Tapi, tangan ini masih mampu menjangkau setiap sudut kertas yang sudah menguning ini. Bahkan, masih mengingatnya dengan baik setiap isi cerita yang diumbar dalam secarik kartu pos maupun surat yang diketik rapi itu.
“Tokiko Onose, laki-laki dengan piyama kotak-kotak merah …” gumamku, meluncur dengan begitu saja. Dan butiran bening dari sudut mata ini jatuh perlahan. Terus jatuh. Menderas. Ingatan akan Tokiko Onose adalah kehangatan yang tak pernah berhenti mengalir. Laki-laki dengan piyama kotak-kotak merah itu adalah keriuhan kecil yang selalu menyelusup ke dasar hati.
Aku memilih untuk menggeret kursi. Duduk. Sepi.
…..
saya tahu. saya sudah memulainya.
2008-04-08 » Femi Adi