Csl @ Padang (2)
Sunday 6 January 2008 - Filed under cerita cinta + kegemaran + pit-pitan + renanda
Saya bersepeda dengan curve SL (csl) dari hotel di hari Jumat usai terguncang gempa Bengkulu yang berkekuatan 6,3 scala richter sekitar pukul 14.29. Staf hotel bilang kalau hotel Ambacang tergolong cukup kokoh dengan banyak pilar. Gempa-gempa sebelumnya, hotel tempat saya menginap ini ‘hanya’ pecah kacanya saja, sementara bangunan hotel lain retak bahkan menjadi miring.
Gowsh. Gempa tetap saja gempa. Apapun bisa terjadi, sekokoh apapun sebuah bangunan! Rasanya seperti saat gempa Jogja 2006 lalu. Saat tidur siang, seperti sedang dibangunkan. Sadar bahwa itu gempa, saya menyabet laptop, tiket, blackberry dan dompet. Tubuh saya gemetaran hingga selama hampir 45 menit sesudahnya. Makanya, saya memutuskan untuk berkeliling kota Padang dan nightride di Ranah Minang ini.
Perjalanan pertama saya awali menuju ke kawasan pecinan di kota Padang. Saya mampir di warung kopi Nan Yo yang sudah kesohor. Letaknya ada di jalan Niaga, sebelah menyebelah dengan warung kopi Revita. Mandek di depannya, saya melipat sepeda dan membawanya masuk. Viktor, cucu pendiri warung kopi ini bengong aja melihat saya melipat sepeda dan menjinjingnya masuk ke warung kopinya, kemudian memarkirkan persis di samping meja.
“Kopi hitam tanpa gula, panukuk dan lamang baluo!” pesan saya pada Viktor. Tapi saya terlambat datang. Panukuk alias pannekoek atau serabi dan lamang baluo yang semacam lemper berisi unti itu sudah habis. “Adanya pagi hari,” kata Viktor. Aih! Bahkan, saya gagal mencicipi cakwe yang dimasukkan kopi tubruk, cara khas Padang! Aaaaah! Hasilnya, saya hanya bisa menikmati kopi tubruk tanpa gula, kesukaan saya, plus bakwan.
Di belakang tempat saya duduk, bergerombollah bapak-bapak yang usianya sekitar 50 tahun keatas. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa padang. Saya memilih untuk menikmati suasana lawas di kedai kopi ini, mencermati desain kursi yang sudah ada sejak tahun 1932 yang diusung oleh kakeknya Viktor dari Eropa Timur, dan memperhatikan Viktor yang sering mencuri lihat csl saya.
Hingga Anton, laki-laki Jawa yang merantau ke Sumatera Barat menghampiri saya untuk bertanya, “Ini sepeda didatangkan dari mana?” Duh, nggak ada pertanyaan yang lebih sederhana ya? Hehe … bagi saya pertanyaan ini agak membingungkan. Maka saya jawab sekenanya, “Saya beli di Jakarta, lisensi Amerika, bikinan Taiwan, saya pakai untuk keliling di kota-kota yang saya kunjungi.”
Dan Anton pun duduk semeja dengan saya, kami berbicara soal kuliner di Padang dan perbandingannya dengan di tanah Jawa. Tak lupa, juga soal sepeda lipat dan komunitas id-foldingbike. Seru banget obrolan kami!
Sebelum bola raksasa menggelap, saya memutuskan untuk meninggalkan Nan Yo, dan menyusuri kawasan Muaro Padang, untuk menuju Jembatan Siti Nurbaya. Jembatan ini selain untuk menuju sisi muara yang lain juga merupakan akses menuju Gunung Padang dan Pantai Air Manis di mana hidup legenda Batu si Malin Kundang. Jembatan ini menuju makam Siti Nurbaya yang dibikin mencolok di ketinggian.
Menaiki jembatan ini, tak perlu pakai tenaga ekstra kok. Asal siap mental saja, rasanya enteng saja menapaki Jembatan Siti Nurbaya dengan csl. Apalagi, bakal terbayar dengan satu porsi jagung bakar dan pisang bakar yang sudah mulai berderet sejak sore hari di sepanjang jembatan. Semalam sebelumnya, saya bersama abang meniti jembatan ini. Indah nian di kala malam dengan hiasan lampu!
Pret … pret … pret! Csl mulai bergaya. Sip! Tak lupa, saya ikut berpose dengan gaya apa adanya bersama dengan csl. Saya minta tolong seorang uni berkerudung putih yang berbaik hati memotretkan beberapa frame untuk saya.
Matahari belum habis. Saya memutuskan untuk menikmati bola raksasa yang hendak bersembunyi dari pinggir Pantai Padang. Segendang seperjogetan dengan Jembatan Siti Nurbaya, di sepanjang pantai ini juga sarat dengan penjual jagung bakar, roti bakar, pisang bakar, plus kacang rebus. Sekitar dua genggam kacang rebus yang dibungkus plastik, saya dikutip Rp 5.000.
Saya memilih pisang bakar plus keju, dan duduk melamun di pinggir pantai. Ongkosnya sama, Rp 5.000 seporsi. Saya menyandarkan csl di pohon kelapa. Aih! Kalau saja ada moroners di pinggir pantai ini, pasti seru sekali! Melipat sepeda di pinggir pantai dan menantang ombak yang menggemuruh. Aiiihh! Setelah bernarsis-narsis sebentar, saya menarik diri dari pucuk pantai, dan mulai menggenjot ke pucuk pantai yang lain. Sedap nian menikmati angin Pantai Padang di sore hari.
Pukul 18.00 tepat, saya sudah berada di Gereja Katedral Padang. Jumat pertama di bulan pertama 2008, saya kok tidak ingin melewatkan ibadat. Konon, menyambangi gereja yang baru pertama kali dikunjungi, tiga permintaan bakal dikabulkan oleh Si Pemilik Hidup. Benar? Entah. Minta saja. Dan saya juga mengujubkan tiga permintaan pribadi padaNya. Amin. Amin. Amin.
Nightride dimulai. Saya mengelilingi kota Padang. Asal genjot, menikmati kota yang asing bagi indera saya. Udara malam yang menyesak. Sapuan angin di kulit. Angkot yang musiknya berdentuman seperti di nightclub dengan kerlap-kerlip lampu nan meriah. Menjelajahi jalanan yang saya tak tahu utara-selatan-barat-timur. Asal kayuh. Asal jalanan beraspal.
Dan Padang habis dalam semalam. “Ke mana arah Jalan Bundo Kanduang?” tanya saya pada seorang penjual rokok. Mendengar penjelasannya, wuih, jauh juga! Tapi ga masalah, pakai csl ini, dan tidak hujan! Horeeee!
Saya mandek di kedai Pagi Sore di Jalan Pondok. Melipat sepeda, dan memarkirkannya di sebelah meja saya. Ini adalah kedai milik orang keturunan Tionghoa. Menu masakannya sama dengan kedai lain yang saya jumpai di Padang, yaitu ya masakan Padang. Bedanya dengan yang lainnya, ada sentuhan Tionghoa dalam pengolahannya. Upamanya, rendang kacang yang gurih dibikin dari kacang putih. Contoh lainnya, tahu yang dimasak tauco dengan santan encer dan cabe hijau.
Di kedai yang sudah berusia sekitar 60 tahun ini saya mencicipi rendang yang berwarna hitam. Konon, masak rendang ini selama 12 jam diatas api kecil dari kayu bakar. Dagingnya cukup empuk meski cubitan pertama terasa keras. Rempahnya itu yang berasa bangeeettt di lidah!
Barangkali sudah kemalaman, saya tak kebagian ayam goreng yang dimasak dari ayam kampung berbumbu minimalis. Konon, ayam goreng di kedai ini digoreng dengan minyak kelapa. Hasilnya, nyaris tak kelihatan ada minyak yang menempel pada permukaan ayam.
Perjalanan berlanjut, masih ngubek-ubek kawasan kota. Mau mampir ke Martabak Kubang untuk mencicipi martabak mesir, hanya saja perut sudah tak muat! Martabak ini seperti martabak telur, tapi dimakan dengan kecap encer yang dicampur cuka, bawang bombay, irisan tomat, dan cabe rawit. Bayangkan sedapnya!
Pilihan martabak mesir ini atas rekomendasi seorang bapak-bapak yang saya jumpai di warung kopi Nan Yo. Menurutnya, martabak mesir yang kesohor ada di jalan Muhammad Yamin, dengan merek Martabak Kubang itu. Konon, disebut Martabak Kubang karena pemilik dan pekerjanya berasal dari Kampung Kubang, sebuah nagari yang terletak di Kabupaten 50 Kota, Sumatra Barat.
Lantaran harus siap berkemas untuk bertolak dari PDG ke CGK pada hari Sabtu (5/1/2008) dengan Garuda pada pukul 8.25 keesokan paginya, saya memilih kembali ke hotel. Menggenjot csl ke hotel, membungkusnya dengan tas id-foldingbike, dan menggudangkannya semalaman di samping meja resepsionis.
Setelah Padang, kemana lagi ya csl saya bawa?
2008-01-06 » Femi Adi
9 January 2008 @ 3:27 pm
hmmm asyiknya jalan2, jadi ni yg dimaksud dgn jalan2 dgn CSL ya?
ati2 di jalan. ditunggu cerita berikutnya.
9 January 2008 @ 3:28 pm
foto2nya dong dipajang
14 May 2008 @ 2:26 pm
asyyyiik membaca cerita mu ibarat membawaku keliling padang. kok foto2 nya gak dipajang?? duh jadi homesick nih
http://sutanmudo.co.cc