Csl @ Padang (1)
Sunday 6 January 2008 - Filed under cerita cinta + kegemaran + pit-pitan + renanda
Sejak bulan lalu saya sudah merencanakan untuk menyambangi Padang, Sumatra Barat. Hampir 28 tahun saya hidup, belum sekalinya saya menginjak tanah Sumatera. Duh, kebangetan banget ya! Menjumpai soulmate adalah tujuan utama. Selebihnya, plesiran dengan sepeda lipat untuk menghabiskan Padang dan Bukittinggi dalam dua malam.
Penerbangan dengan Adam Air pukul 6.50 pada hari Kamis (3/1/2008)dari CGK menuju PDG. Awalnya, saya ingin membungkus sepeda curve SL (csl) dengan koper. Hanya saja, koper yang ada di gudang ternyata kekecilan. Alhasil, disarungi dengan tas id-foldingbike saja, dan dibubuhi stiker fragile. Saya tak mengempeskan ban. Dus, csl standar ini membebani timbangan di meja check in seberat 15 kg.
Tiba di Padang, saya langsung menuju hotel Ambacang dengan biaya Rp 385.000 semalam. Hotel ini baru jalan 1,5 tahun, bekas sebuah pusat perbelanjaan di kota Padang. Sisanya masih ada, yaitu Kentucky Fried Chicken di sebelah belakang. Sekadar review aja, pub-nya brisik banget di malam hari! Uwh! Jedang-jedungnya berasa dari pukul 22.00-02.00.
Dari hotel ini, saya memesan travel untuk ke Bukittinggi. Ongkosnya Rp 25.000 sekali jalan. Sayangnya, jemputan travel agak terlambat sehingga baru meninggalkan padang pada pukul 12.20. Sepeda lipat yang saya usung di bagasi L300 sudah ditaksir oleh Adek, supir travel. “Di jakarta banyak? Yang ini ditinggal di Padang untuk kenang-kenangan ya!” selorohnya. Waduh, kenang-kenangannya mahal amat! Csl gitu lowh!
Sekitar dua jam kemudian, saya dibuang persis di pelataran Jam Gadang atau di sekitar Pasar Atas. Langit cukup biru. Beruntung, beberapa hari Padang dan Bukittinggi tidak hujan. Mencoba membuka lipatan sepeda, duh … beberapa orang Padang mengerubungi saya dan berbicara dengan bahasa Padang yang tidak saya mengerti. Sialnya, perbincangan mereka kemudian diikuti dengan derai tawa yang saya juga tak bisa pahami. Duh!
Saya memutari Pasar Atas. Mencoba pemanasan untuk tanjakan dan turunan. Lumayan lah. Tanjakannya tidak terlalu sadis. Turunannya juga tidak terlalu memanjakan pedal. Napas saya tak juga habis. Lantaran sejak pagi perut belum terisi, saya menyambangi kedai Simpang Raya di Jalan Sudirman. Saya menjejerkan csl di bagian parkir roda dua, bersama dengan kendaraan bermesin lainnya.
Menu yang saya lahap adalah dendeng balado dan ayam pop, plus teh talua. Segelas teh talua dibikin dari perpaduan telur dan gula plus susu yang dikocok lalu dituangkan air teh panas mendidih. Campuran telur itik, susu, dan teh menghasilkan minuman berwarna putih, coklat, dan kuning dengan busa di bagian atasnya. Mirip cappucino. Konon, minum teh talua, cukup handal untuk menambah stamina.
Saya butuh waktu sekitar setengah jam untuk menghapuskan bayangan ada telur di dalam teh yang hendak saya sruput. Sungguh, tak habis pikir saya ada adonan telur di dalam minuman tersebut. Diguyurkan begitu saja ke tenggorokan, wuih, lezat nian teh talua ni!
Beberapa pegawai Simpang Raya sempat mengintip sepeda yang hendak saya kayuh meninggalkan jalan Sudirman. Duh, jadi artis dadakan di daerah nih! Wakaka … menyusuri Jalan Sudirman, beberapa kendaraan menjejeri saya, mencermati csl, tersenyum, menganggukkan kepala, lantas ngeloyor pergi. Tentu saja, saya tak mau kalah, saya membunyikan bel. Kring ring!
Saya menyusuri jalanan yang agak kampung di Bukittinggi. Kawasan ini cukup nyaman untuk bersepeda. Dengan riang, saya mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang. Rasanya sayang melewatkan Bukittinggi dengan terburu-buru. Sawah dan pemandangan yang asri masih bisa dinikmati dengan telanjang mata. Bahkan, Bukittinggi juga miskin polusi.
Saya bablas ke Pasar Bawah. Pasarnya sih tidak istimewa, seperti pasar kebanyakan. Yang menjadi istimewa adalah andong dan angkot yang saling berebut jalan. Jalannya Cuma secuplik, tapi digunakan untuk dua jalur. Banyak yang ngetem, pulak! Untungnya, bawa csl yang gesit. Saya sempat mampir ke toko sepeda untuk mencari baut yang lepas dari fender csl. Duh, ternyata nggak ada. Yang ada, malah csl ditawar. Maunya, Rp 150 ribu! Aduh, kejam nian uda menawar segitu!
Saya berhenti di rumah kelahiran Bung Hatta dan mencoba berbincang sejenak dengan perawat rumah bersejarah itu, yaitu uni Desiwarti. Tentu saja, tak lupa mejeng di pelataran rumah Bung Hatta tersebut. Maunya sih saya mejengin sepeda persis di depan kasur Bung Hatta. Tapi, ga tega minta ijinnya!
Saya genjot ke Pasar Atas, ke kawasan Jam Gadang. Langit masih cerah. Hanya saja, sinarannya sudah tidak terlalu garang. Cucok banget lah buat potret-potret saat adem begitu. Saya terus mengayuh dari Pasar Bawah ke pasar Atas. Seorang polisi yang tengah mengatur jalanan yang hendak masuk ke kawasan Jam Gadang, sontak menghentikan peluitannya dan memandangi genjotan saya. Haduh, pak polisi, malu atuh diliatin begitu.
Pret … pret … pret … Jepretan saya pada csl saya tembakkan dengan latar Jam Gadang. Sedap! Saya dikagetkan oleh suara seorang laki-laki setengah baya, saat asik mencari angle jepretan. “Mbak, sini saya potretkan, kok kasihan yang dipotret Cuma sepedanya aja … “ Waduh, padahal yang penting ini sesungguhnya bukan saya, tapi sepedanya! Tapi, atas nama kenarsisan, boleh jugalah! Dan tanpa malu-malu, saya pun berpose dengan csl kesayangan. Asik asik asik asik!
Namanya Zenal, asli orang Padang yang berumah di Jalan Thamrin. Ia bekerja untuk sebuah travel agent di Padang. Sore itu, ia bersama dengan pak Tohir dan Hartanto, dua guide dari Jakarta yang tengah membawa 60 turis ke Padang dan Bukittinggi. Tak lama setelah saya dan uda Zenal berbincang seru, dua guide Jakarta pun bergabung. Dan mulai deh, mereka memegang-megang csl saya.
“Seumur hidup, baru kali ini saya lihat sepeda seperti ini,” kata uda Zenal. Ia juga menambahkan, di Bukittinggi nggak ada sepeda lipat seperti itu. “Lha, ini ada di Bukittinggi!” seloroh saya. Nah lo! Maka, secara bergantian ketiganya memegang, bahkan mencoba si csl. Obrolan yang seru soal sepeda lipat, Bukittinggi, dan Padang ternyata dikuping oleh orang-orang yang juga tengah ada di pelataran Jam Gadang. Anak-anak hingga orang dewasa, mereka perlahan merapat, memperhatikan sepeda lipat. Duh!
Saat saya melipat csl menjadi ukuran lipetan, duuuuuh … semakin banyak yang mengerubungi! Tentu saja, saya semakin bersemangat bercerita soal sepeda lipat dan komunitas id-fb! Rasanya seperti tengah orasi dalam sebuah demonstrasi! Gosh!
Ujung-ujungnya, uda Zenal bilang, “Untuk pertemuan yang menyenangkan ini, bagaimana kalau saya traktir di Simpang Raya?” Wah, boleh! Csl pun saya angkut. Saya mengangkutnya masih dalam bentuk lipatan, dengan pandangan yang penuh tanda tanya dari beberapa orang yang kami lewati. Pak Tohir dan pak Hartanto pun rebutan menyebrangkan csl dari pelataran Jam Gadang menuju Simpang Raya. Hahaha !!
Terlalu asik ngobrol, saya kehabisan travel menuju Padang. Uda Zenal berusaha mencarikan travel-travel yang masih berangkat belakangan. Tetap saja hasilnya nihil: penuh. Pukul 17.43, saya berpamitan untuk menuju Simpang Air untuk ambil travel tembakan. Sopir travel tembakan ini langsung menyambut saya yang berniat menyewa bangku di Panther merahnya.
Air mukanya berubah saat melihat sepeda yang saya tungganggi dari Jam Gadang. “Bawa sepeda? Tak muat, kak!” serunya, sambil garuk-garuk kepala saat melihat saya datang dengan sepeda. Saya hanya bilang, “Muat, ada bagasi?” Si sopir masih menggeleng. Dalam hitungan detik, saya melipat sepeda dan ia langsung berteriak-teriak dalam bahasa Padang yang tak saya tahu. Tapi segera saja, sopir-sopir di dan kernet di sekitar Simpang Jambu Air pun langsung berdatangan dan melihat csl dalam kondisi tengah dalam proses dilipat.
Selesai melipat, sopir pertama tadi langsung menjinjing csl saya ke bagasi belakang. Amin, akhirnya ada juga travel yang mengusung saya ke Padang. Jadinya, rencana perjumpaan dengan soulmate aman! Menunggu penumpang lain berdatangan, saya membaur bersama dengan sopir dan kernet di sebuah warung kopi. Pesanan saya sama, yaitu kopi hitam pahit. Lagi-lagi, mereka bertanya soal sepeda lipat. Dan lagi-lagi, saya menjelaskan soal sepeda lipat.
Travel berangkat ke Padang! Ongkos travel tembakan ini Rp 15.000. Murah? Hmm … tapi agak sadis. Satu Panther diisi untuk 11 penumpang, termasuk sopir. Demi kenyamanan perjalanan, maka saya memilih duduk di kursi depan, dan memesan 2 seat sekaligus! Horeee! Sementara penumpang lain berdesak-desakan di jok belakang, saya duduk dengan sangat comfort di depan. saya menambah ongkos Rp 10.000 lagi agar diantar sampai hotel. Cihuy!
Malam hari tidak ada nightride di Padang, soalnya saya menjadualkan untuk bertemu dengan pasangan jiwa. Ehm.
2008-01-06 » Femi Adi
7 January 2008 @ 5:09 am
Lepas dari cerita di balik layar, yang kau kabarkan esok tadi, tetap, tetap saja cerita perjalananmu kali ini menggairahkan untuk bikin iri… Ada atau tidak ada lubang menganga, juga duri menusuk, juga angin menghempas, tetap, tetap saja terus, teruslah menggenjot. Di kota, di hati, mana pun yang akan kau singgahi nanti!
9 January 2008 @ 3:21 pm
Sopir bilang, ‘tak muat nih’. Lalu, lanjutnya, ‘sepedanya bisa diangkut, orangnya ditinggal saja. hehehe
asyiknya jalan2 di padang. jadi pingin. eniwei, sadis juga tuh mo mejengin sepeda di tempat tidur bung hatta. bisa2nya gitu.
13 January 2008 @ 9:09 pm
terakhir ke Bukittinggi waktu kelas 6 SD kalau tidak salah. tapi belum pernah naeik sepeda. sepertinya patut dicoba.
salam kenal
14 May 2008 @ 2:16 pm
asyik banget ceritanya, jadi pengen ke bukittinggi. eh, lihat pic csl nya donk!!!
http://sutanmudo.co.cc
12 September 2008 @ 1:58 am
Cerita yg sangat menarik, btw foto Sepeda & Jam Gadangnya maaaana?
1 January 2009 @ 3:59 pm
[...] dengan tokiko onose di awal tahun. lelaki dengan pjamas kotak-kotak merah yang sudah saya nantikan sejak empat tahun [...]