done, again
Tuesday 12 February 2008 - Filed under asupan gizi + isu indonesia + kegemaran + kubikel + media
Sebuah sejarah telah diguratkan oleh sejumlah pejabat di negeri ini, satu dasawarsa silam. Mereka yang saat itu disebut-sebut sebagai anak emas Soeharto, mendadak dituding sebagai orang-orang yang berperan menjungkalkan Soeharto. Iya, anak-anak itu telah ‘membunuh’ bapaknya sendiri.
Direncanakan atau tidak, surungan agar Soeharto mundur dari kursi RI-1 telah mereka lakukan. Mulai dari Harmoko yang menggelar sidang terbatas dengan para pemimpin fraksi di Senayan dan bersepakat, “… demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri.” Sekonyong-konyong, sebuah batu besar ditimpakan Soeharto oleh ‘Si Bung’, anak emas yang sebelumnya senantiasa menuruti petunjuknya.
Belum selesai satu perkara, perkara lain muncul. Yaitu, mundurnya empat belas orang mentri yang berada dibawah koordinasi anak emasnya yang lain, yaitu Ginandjar Kartasasmita. Padahal, semalam sebelumnya Ginandjar ikut membantu Soeharto menyusun orang-orang yang bakal didudukkan dalam kabinet yang anyar.
Hingga akhirnya pada pemakaman Soeharto 28 Januari 2008 silam, tak urung Ginandjar berujar, “Saya bilang kepada Mbak Tutut, maafkan saya, kalau peristiwa itu dianggap sebagai dosa atau kesalahan.” Ia mengimbuhkan, ia meminta maaf juga lantaran berbeda pandangan dengan Pak Harto sesaat sebelum reformasi.
Anak emas Soeharto yang dituding mengkhianati keluarga Cendana adalah Prabowo Subianto. Malam itu, Soeharto sedang duduk bersama Wiranto dan putra-putri Cendana. Prabowo dianggap pecundang di depan keluarga istrinya. Yang pertama berdiri adalah putri bungsu Suharto, Mamiek. “Mamiek melihat saya, kemudian menudingkan jarinya seinci dari hidung saya dan berkata: “Kamu pengkhianat!” Dan kemudian “Jangan injak kakimu di rumah saya lagi!” Jadi, saya keluar. Saya menunggu. Saya ingin masuk. Saya katakan saya butuh penjelasan. Istri saya menangis.” Setelah itu, Prabowo pulang.
Belum lagi Habibie yang diharapkan juga ikut lengser saat Soeharto lengser, nyatanya pasrah menerima sampur untuk melanjutkan pemerintahan Soeharto. Ketidaksukaan Soeharto terhadap sikap Habibie ini tercermin dari sikap Soeharto pada 21 Mei 1998. Habibie bercerita, “Namun, baru saja saya berada di depan pintu ruang Jepara, tiba-tiba pintu terbuka dan protokol mengumumkan bahwa Presiden Republik Indonesia memasuki ruang upacara. Saya tercengang melihat Pak Harto, melewati saya terus melangkah ke ruang upacara dan melecehkan keberadaan saya di depan semua yang hadir.”
Siapapun itu, orang-orang yang pernah sangat dekat dengan Soeharto pada masa kejayaannya, harus ditendang dari lingkaran Cendana. Suka atau tidak suka, itulah yang terjadi pada Habibie, Harmoko, Prabowo maupun Ginandjar. Bahkan, ABRI dan Golkar yang selama tiga dasawarsa menjadi kendaraan Soeharto, juga ikut diasingkan oleh The Smiling General itu.
Dengan tudingan jari telunjuk berjarak seinci dari wajah, dengan surat pengunduran diri para menteri, dengan himbauan untuk mengundurkan diri, semoga saja Indonesia bisa belajar dari sejarah bangsanya yang ditulis dengan cerita-cerita tentang pengkhianatan. Sungguh, sejarah senantiasa berulang.
Salam hangat,
Femi Adi Soempeno
(Ps: terima kasih ya, kalian sungguh baik. energi ini tak ada habisnya untuk mencatatkan diri sebagai penulis, dan kian menggurat sebagai penulis. it is done, again.)
image courtesy: kontan
2008-02-12 » Femi Adi