Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

hidup bertetangga

Sunday 28 September 2008 - Filed under kegemaran

Sepeninggal ayah, hidup bertetangga menjadi tidak mudah.

Dulu, tetangga-tetangga saya dengan segan dan sungkannya datang ke rumah, berbincang dengan ayah. Bisa jadi, karena ayah memang generasi yang cukup tua di daerah tempt saya tinggal. Ayah juga cukup ramah dan terbuka pada siapa saja yang datang, meski ayah tak pernah ‘nangga’.

Semuanya berubah saat ini. saya bikin manuver sedikit saja, misalnya mengeluarkan beberapa perkakas di rumah untuk dibereskan, orang-orang akan datang untuk ngobrol, melihat-lihat, sembari clingkukan mengintip isi rumah. Ah, rumah kami memang isinya hanya buku. Tidak lebih. Itu harta terbesar dan termahal yang kami punya. Ribuan buku menggudang di dalam rumah, di ruang tengah.

Hal ini membikin saya tidak nyaman. Sungguh.

Sejak kecil, memang saya tak cukup biasa untuk bermain dengan anak-anak seusia saya di daerah tempat saya tinggal. Melihat jathilan, tetapi tidak sampai tinggal lebih lama untuk bermain-main dengan mereka. Maklum, anak-anak kecil yang sebaya saya dulu, sudah biasa misuh dan membentak-bentak orang yang lebih tua. Dan ayah saya tidak ingin saya pulang kerumah usai tertular kebiasan mereka.

Dan semuanya jadi serba tidak enak. Apalagi setahun terakhir ini saya giat membuang perkakas dan menggantinya dengan yang baru. Membeli perkakas baru, misalnya, orang-orang di sepanjang gang akan melihat, mencermati, mengamati. Barangkali, membincangkan saya sesudahnya. Semoga saja perbincangan yang penuh rasa syukur.

Mestinya tidak ada yang perlu dirisaukan dengan perkakas yang belakangan sering saya buang dan saya ganti dengan yang lebih ringkas. Semuanya terangkut dengan lembaran rupiah yang saya kumpulkan dengan investasi yang cukup besar dan butiran keringat. Investasinya, ya keprihatinan ayah dan ibu saya agar saya bisa bersekolah setinggi mungkin. Selebihnya, menukarkan butiran keringat dengan lembaran mata uang indonesia.

Semoga saja, perkakas anyar ini tidak dilihat sebagai kesombongan.

Tagged: » » » »

2008-09-28  »  Femi Adi