Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

Endog abang

Thursday 3 November 2005 - Filed under cerita bumijo

Endog abang, saya kangen banget makan endog abang.

Sebenernya hanya rebusan telur biasa, tetapi diberi pewarna atau teres berwarna merah menyala, lalu ditusukkan pada sebilah bambu tipis pendek menyerupai tusuk sate.  Di bagian ujung, ditempeli kertas putih, bekas kertas-kertas yang sudah tak terpakai lagi. Potongan itu dibikin seperti rumbai-rumbai dan menjambul keatas. Di bagian gagang, rumbai-rumbai itu juga dilekatkan melingkar.

Endog abang ini biasanya saya dapatkan usai oom ata tante saya sholat ied di lapangan Minggiran, Mantrijeron, Jogja. Ini adalah tradisi sejak saya kecil, mereka selalu menghadiahi saya endog abang sepulang sholat di hari lebaran. Waktu saya kecil, saya bisa habis satu atau dua telur, dan saya melahapnya dengan penuh girang hati. Tangan menjadi merah semerah endog abang bila menguliti si telur. Habis gitu, pasti ibu akan marah-marah karena tangan saya menjadi ‘kotor’.

Endog abang ini hanya saya jumpai setahun dua kali, saat ada sholat ied saja. Sampai hari ini, saya pun belum pernah melihat wajah si pedagang endog abang. Mungkin harus berseragam abang, atau harus mengenakan kebaya abang, atau mengenakan topi abang? Entah!

Semalam saya sudah memesan endog abang pada oom saya. Beberapa tahun belakanagn ini saya agak jarang mendapatkan hadiah kecil namun nilainya besar ini. seperti sebuah tradisi saja pokoknya. Abis sholat ied, pasti ada endog abang buat saya. Tapi lagi-lagi saya tak mendapatinya. Alasannya, lapangan terlalu banyak dibanjiri orang-orang, jadinya nggak bisa beli endog abang.

Aduh, saya sedih sekali. Saya sudah kangen makan endog abang. Saya harus menunggu bulan Besar untuk mendapatkan endog abang lagi!

2005-11-03  »  femi adi soempeno