mencari pak andung
Tuesday 15 February 2005 - Filed under kubikel
saya mencari andung nitimihardja.
dia mentri perindustrian. kebetulan minggu ini mediaku menulis mengenai bluprin perindustrian indonesia, mau diarahin kemana gitu loh! hihihihi …
katanya, beliau tidak susah dicari, hanya perlu waktu yang pas untuk mencegat saja. masalahnya, saya datang pada saat yang tidak tepat. bahasa jawanya ‘tlisipen’, alias nggak cocok. duh, apa bahasa indonesianya yah. saya datang, beliau sudah nglencer dengan volvo B 22 nya. cocok dah!
saya pun menyambangi meja sekretarisnya, namanya pak yayan dan bu fifi. wajah mereka dipaksakan ramah kalau tak ingin dibilang angker. pendek kata, mereka tidak bersahabat. upppss … mungkin hanya dengan saya saja, dan tidak pada yang lain. atau, mungkin hanya dengan saya yang tidak memberi sedikit uang sogokan bagi mereka, dan tidak pada yang lain yang memberi sedikit uang sogokan bagi mereka. hmmh … senyum dan keramahan ternyata tidak cukup ampuh untuk menembus pintu ruang kerja mentri. atau, bisa jadi anggapan saya ini keliru.
saya meminta pak yayan untuk matur pada pak andung, bahwa saya, femi adi, ingin sebentar wawancara soal bluprin perindustrian. tidak lama, hanya sebentar. hanya 5 menit saja. dan saya menyerahkan kartu nama saya, maklum, ogah dibilang wartawan bodrek. lha wong saja jelas-jelas bekerja pada satu media massa cetak, mingguan ekonomi bisnis je. hehehe … pak yayan bilang, bapak sedang makan, tapi nanti setelah makan akan disampaikan. setelah itu, saya keluar dan menunggu dengan kongko bersama satpam di luar di lantai yang sama.
jarum jam terus bergerak. untuk urusan menunggu, jelas saya ahlinya. saya cukup sabar menunggu sumber keluar dari pintu, bahkan untuk sekadar kencing pun … saya rela menunggu! ajudan pak andung datang, dan ngobrol dengan si satpam. dia mencari polisi yang menjaga depprin, namanya nana. entah, ada bisnis kecil yang mereka bicarakan. walau tidak ingin tahu, toh kuping ini tidak tuli, karena agaknya si ajudan tenagh memesan sabuk pada si polisi. mmm .. hampir sejam. saya masih sabar.
saya hampiri pak yayan, hanya untuk memastikan bhwa dia sudah bilang pada pak andung, ada wartawan sopan menunggu. ternyata, kartu nama saya masih dikantongi. saya kaget setengah mati. beliau masih sibuk, katanya. ow, saya sangat memaklumi kesibukan pak andung. wong namanya juga mentri, yang diurus bukan hanya departemennya saja, atau sekretarisnya yang (ternyata) juga tidak disukai banyak orang, tetapi negara. negara ‘bo!
saya bilang pada pak yayan, saya hanya 5 menit, dan pak yayan boleh hitung 5 menit itu. lha wong nyegat di jalan saja belum tentu 5 menit kok, dan bisa. lha kok bilang baik-baik saja kok nggak boleh lo. mmm … mungkin bukannya nggak boleh, hanya saja dia ciut nyalinya untuk matur sama pak andung. saya heran. wong enggak maling, enggak nyopet, enggak mbunuh, apa yang ditakutin. wong semuanya lewat prosedur lo. pas saya ingin menulis di kertas layaknya tamu yang datang –kertas itu ada di bawah kalender meja, kertas untuk diisi tamu dadakan yang mampir ke kantor pejabat– tapi saya nggak dibolehin kok. katanya, cukup dengan kartu nama saja. wah … saya heran setengah mati, sebegitu ajaibnyakah kartu nama saya … namun saya tetap saja mbatin, secarik kartu nama saja nggak berani ngaturke ke pak mentri, kok ya masih menolak saya untuk menulis di kertas yang lebih prisedural gitu loohhh …
katanya, balik saja, dan besok akan ditelepon. aiiiiii, pak yayan! ini trik lawas dari para sekretaris yang takut bilang sama bosnya dan ogah membantu wartawan! saya sih sudah biasa diladeni dengan kalimat seperti itu.
saya memilih menunggu di ruang tamu, tak jauh dari protokoler mentri, sambil melihat majalah KINA yang ada di meja. ketika duduk di lorong pintu keluar, pak polisi yang jaga nggak bolehin saya duduk di lorong. alasannya, nggak enak sama pak mentri. uh, benar juga, karena ini lorong, untuk jalan. akhirnya saya putuskan menyambangi lagi pak yayan yang berhati semut. eits, masih juga belum dibilangin ke bapak. saya pun merebahkan pantat saya di kursi tamu. “mbak, nunggunya jangan disini yah, nggak enak kalau ada tamunya bapak,”begitu kata si sekretaris yang pelit senyum. namanya fifi.
aiiii aiiiiiiiii … seperti ditampar rasanya, dibilangin begitu. dalam hati ini batin, aduh mbak, kalau saya datang dengan baju compang-camping, dengan sandal jepit dan jeans bolong, saa wartawan bodrek yang minta duit, boleh anda mengusir saya dari sini. lha wong saya sudah minta baik-baik, memberikan kartu nama saya yang sahh, mau nulis di kertas aja ditolak sama pak yayan, duduk di tempat yang selayaknya untuk tamu, kok ya masih diusir gitu. saya sakit hati banget. saya sakit hati banget.
saya sakit hati banget. dari departemen2 yang sudah saya masuki, depkeu, dephan, depkeh, depkimpraswil, deptan, dephut, BUMN, lagi ini saya ‘diisengin’ sama sekretaris macam fifi dan pak yayan ini. kalau saya datang dengan menggebrakk-gebrak meja, dengan berteriak, dengan asal masuk kamar pak mentri, bolah-boleh saja mereka mengusir saya. lha wong saya datang dengan baik-baik, mengenakan ID card dan press card yang menunjukkan bahwa saya bukan wartawan gadungan dan dari mingguan KONTAN je.
saya sakit hati banget. sehina itu pa pekerjaan saya. duduk di ruang tamu, diusir. masih lebih baik kalau mereka membantu saya mengatakan pada pak mentri bahwa ada yang mencari di luar. lha wong mereka saja ciut nyalinya untuk matur pada pak mentri, dan menolak saya menulis di kertas yang lebih prosedural.
saya sakit hati banget. saya bekerja, bukan ngemplang gaji dengan tidak sopan. saya menunggu, untuk kutipan secuil tentang bluprin perindustrian. saya tak ingin melaporkan ke redaktur bahwa saya mendapatkan kutipan pak andung, yang tentunya isinya saya bikin-bikin sendiri, padahal saya tidak mendapatkannya. itu namanya fitnah dan melanggar etika wartawan. lha kok saya malah mendapatkan sikap yang tidak menyenangkan dari sekretaris.
saya sakit hati banget. kata beberapa teman, pak andung cukup mudah untuk ditemui, dan baik. aduh. lha wong yang punya jabatan lebih tinggi saja baik, kok malah bawahannya yang mempersulit dan tidak baik. kalau bilang minta daftar pertanyaan agar di fax duluan, tentu saya akan fax kok. lha wong saya nunggu dengan duduk di ruang tamu, dengan sopan, dengan tidak berisik, saya membaca majalah, malah diusir. apa iya ‘prejengan’ saya ini nggak pantas untuk menunggu pak mentri?
saya sakit hati banget. saya pulang jam 18.57, setelah 4 jam menunggu pak andung. saya menangis di dalam bus yang saya tumpangi. dada ini rasanya sesak sekali. saya tak takut dimarahin redaktur karena nggak bisa mendapatkan kutipan. itu lebih baik ketimbang saya bikin laporan yang tidak benar hasil ‘wawancara imajinatif’ saya dengan pak andung. dada saya sesak karena sikap dan perlakuan yang tidak baik dari skretaris mentri perindustrian.
saya sakit hati banget. terimakasih untuk pak satpam dan sopir yang lebih hangat menemani saya ngobrol di lantai 1 dan 2. sopirnya pak agus tjahayana, sopirnya pak andung, bapak yang ikut dengan pak agus tjahayana, para satpam … kalian jauuuuhh lebih memanusiakan sesama ketimbang mereka yang berbaju licin dan bergaji besar di lantai 2. “dia orang kontrakan disini, dia nggak disukai banyak orang,” ujar salah satu sopir.
saya belajar sesuatu hari ini. saya rasa, apapun pekerjaan kita, mau sopir, mau satpam, mau sekretaris, mau polisi, mau wartawan, mau pejabat, kalau menghargai sesama, akan lebih berharga kalau kita menghargai sesama.
tentu saja, saya akan berikan catatan kecil ini untuk pak andung kalau bertemu nanti.
2005-02-15 » Femi Adi