terbang dengan pesawat trike
Tuesday 15 February 2005 - Filed under cerita bumijo + kegemaran + kubikel + plesiran + weekend escape
selamat pagi.
saya mengamati satu foto menarik yang terselip di keyboard saya, foto sebuah pesawat trike. foto itu saya pinjam dari seorang pengusaha bahan bangunan terbesar di klaten, namanya tjandra agus.
saya menaiki pesawat itu kamis, 10 februari lalu. bentuknya lucu, seperti motor bersayap. atau gantole bermotor. entah, apa bahasa indonesianya yang persis. kata pak agus, memang ga ada bahasa indonesianya. namanya tetap sama: pesawat trike.
pesawat ini beroda tiga, dengan propiller atau baling-baling dibelakangnya. kemudinya bersambungan dengan wings. tak heran kalau ini jenisnya pesawatnya flexible wings, bukan fixed wing. bisa dibebani untuk 2 orang dengan bobot maksimal (termasuk pesawatnya) 450 kg. pesawat itu dibeli pak agus 3 tahun lalu dengan harga sekitar 400 juta, komplit dengan kelengkapannya seperti helm dan radio.
Ingin menggenjot adrenalin di udara? Barangkali bisa mencoba salah satu cabang aerosport ini. Dengan ketinggian lebih dari 1000 feet, plus dengan sedikit senggolan dan goyangan angin dan awan, darah bakal berdesir dari perut ke ubun-ubun. Yang lebih sedap, sepasang mata kita bakal dimanjakan dengan pemandangan sawah yang terbentang, dengan rumah-rumah mungil bak rumah-rumahan di permainan monopoli dan mobil-mobilan yang mengkomplitinya.
Bila terbang, dianjurkan untuk terbang pagi hari atau sore hari. Pada jam-jam 5.30 atau 6.00 WIB dan 4.30 sore, angin tidak berhembus terlalu kencang dan udara panas juga belum menyengat. Dengan demikian, thermal dan angin kencang nggak akan mengganggu penerbangan kita.
Hanggar lanud adisucipto, 9.00 WIB. Pesawat air borne bernomor registrasi PKS300 bikinan australia dengan kap berwarna merah disiapkan di depan hanggar. Si empunya sekaligus pilotnya adalah Tjandra Agus, ketua klub trike DIY. Sejajar dengan air borne milik pengusaha bahan bangunan terbesar di klaten itu adalah pesawat air creation berwarna kuning milik Henri Utama, pengusaha pengolahan kayu di yogyakarta. Mereka berkencan terbang bersama menemani saya heheheh.
Kedua pesawat itu sudah melewati pre flight check dan registrasi untuk mengudara di kawasan yogyakarta. Registrasi ini mutlak diperlukan karena runway nya menggunakan runway untuk pesawat komersial bandara internasional adisucipto. Pre flight check dilakukan oleh pemilik pesawat. Hal ini juga mutlak banget dilakukan agar tidak terjadi kecelakaan di udara. “kalau di darat, kita bisa minggirin mobil kita, dan minta tolong sama orang lain. Kalau di udara, siapa yang mau menolong kita?” Ujar henri, pilot plus pemilik pesawat trike.
Halaman hanggar lanud adisucipto, 9.05 WIB. Pesawat siap bertolak. Agus mengenakan seragam terbang miliknya berwarna hijau tua. Seragamnya mirip seragam NASA yang modelnya terusan antara kemeja dan celana panjang. Penutup telinga dipasang, ini juga berfungsi sebagai komunikasi dengar dengan tower, sesama penerbang ataupun yang bonceng. Penutrup telinga ini juga berhubungan dengan microphone untuk berbicara, yang nantinya dihubungkan dengan satu colokan di bagian pesawat. Helm dipasang, helm ini ada kunci di bagian atas kepala, untuk mengunci agar kap muka helm tidak terbuka saat terbang. Apa yang dikenakan Agus, juga saya kenakan. Saya membonceng di belakang pak Agus dan pak Agus menyupiri dari depan.
Hanggar lanud adisucipto, kamis, 9.10 WIB. Agus memberi call sign pada tower. Frekuensi tower yang di call Agus sama dengan tower komersial adisucipto. Setelah tower menyatakan ok, Agus siap di landasan beraspal untuk take off. Sedangkan Henri memilih take off dari rerumputan.
Dan take off! Uh, rasanya seperti melayang. Dan ini terbang sungguhan. Rasanya tidak jauh berbeda dengan kalau kita naik pesawat boeing 737. Pesawat trike ini semakin tinggi dan tinggi. Turbulance propiller (baling-baling) mengakibatkan goyangan ke kanan dan ke kiri, tapi semuanya bisa dihandle dengan sempurna oleh Agus hingga ketinggian 1200 feet. “kita baru bisa jalan di sekitar 1500 feet,” ujar pak Agus.
Trike terus melaju ke arah parangtritis. Dari bawah kemudi pak Agus, dapat dilihat melalui GPSMAP yaitu alat monitor jalan menuju parangtritis. Dari sinilah Agus bisa melihat jarak yang ditempuh, waktu tempuh dan rute yang mesti dilalui.
Di ketinggian 1500, jogja tampak terang bersinar. Mata bener-bener seger!!! Hijau sawah, lapangan stadion, pusat perniagaan yang sedang di bangun, alun-alun, jalan raya, hotel dengan kolam renangnya yang biru, benar-benar menjadi santapan perjalanan yang nikmat. Angin sesekali menggoyang ke kanan dan ke kiri. “Kalau pagi, goyangan seperti ini nggak ada. Karena sudah panas, thermal mempengaruhi guncangan pesawat,” terang Agus.
Sepanjang perjalanan, Agus berkomunikasi dengan tower di adisucipto untuk memastikan keamanan menaikkan ketinggian di 2500 feet. Di frekuensi lain, Agus berkomunikasi dengan henri untuk memastikan bahwa henri baik-baik saja dan juag sedang menuju parangtritis. “Frekuensi berkomunikasi dengan tower dan sesama pesawat harus berbeda,” papar Agus.
Jika pagu hari, menurut Agus, saat udara bersih kita bisa melihat parangtritis dari kejauhan. Tapi karena sudah agak siangan dan awan tipis sudah turun dari langit, maka nggak bisa dengan jelas kita melihat parangtritis dari kejauhan. Pemandangan dari udara jogjakarta sungguh indah! Petak sawah terlihat jelas. Kelokan jalan juga terlihat dengan transparan. Mata telanjang sungguh bisa memperawani jogja dengan lezat.
Mendekati parangtritis, sudah terlihat garis pantai. Dari kejauhan wings kuning milik henri meliuk-liuk ke kanan-kiri. Henri ingin mencoba mendarat. Rupanya beberapa waktu lalu Agus sudah pernah mendarat dengan aman di kawasan pinggir pantai parangtritis. “Airnya sudah lebih menjorok ke daratan. Tempat saya mendarat kemarin sudah disapu air, nggak bisa landing sekarang” ujar Agus pada henri melalui radio komunikasinya. Di ketinggian hanya 2 meter, Agus menyapu tempat yang empuk untuk mendarat hendri, tapi tak ditemukan juga.
Siang tadi parangtritis memang sangat sepi. Wajar, ada himbauan untuk menyingkir dari kawasan ini satu-dua hari lantaran ditengarai bakal ada angin topan dan gelombang dahsyat di jogjakarta.
Henri pun membatalkan landingnya dan mengelilingi kawasan pantai. Agus memberi call sign pada tower dan menaikkan ketinggian hingga 3500 feet. “Mari kita lihat birunya pantai dari atas,” ujar Agus. Dan benar!!! Di ketinggian 3500 feet, parangtritis tak tampak kekejamannya. Biru dan sangat indah. “Susah ya bagaimana ngomong indahnya kalau sudah diatas begini,” kata Agus. Tak tampak rumah atau gubuk di pinggir pantai. Yang dominan terlihat adalah lautan yang menghampar luas dengan indahnya!!!
Semakin tinggi, semakin kecil goyangannya. Hal itu dibuktikan Agus dengan melepas kemudi, dan sungguh tidak ada goyangan sama sekali dari angin ataupun thermal. Di ketinggian 3500 feet ini, kemudi cukup stabil.
Awan yang putih itu ternyata berbau juga. “Rasanya seperti kulkas mati,” ungkap Agus. Pesawat Agus kemudian ditabrakkan pada awan tipis yang berarak cepat. Baunya agak menyengat, dan susah didefinisikan dengan kalimat sederhana. “Kalau tak naik pesawat seperti ini, nggak bisa merasakan awan,” pamer Agus.
Pesawat terus berada pada ketinggian yang sama, hingga Agus akhirnya memutuskan untuk menurunkan ketinggian dan berbalik arah menuju lanud adisucipto. Rasanya agak mual ketika pesawat turun dan naik, apalagi kalau kena guncangan angin. Rasanya mau muntah. “Kalau pertama terbang memang begitu, kalau sudah biasa, nanti juga nggak apa-apa,” kata Agus.
Landing di lanud adisucipto, kembali Agus memberi call sign pada penjaga tower lanud. Hal ini dilakukan mencegah tubrukan pesawat komersial dengan trike ini. Rasanya seperti mendaratkan pesawat biasa. Rada tegang juga ketika ban hendak menyentuh aspal. Dan brukkkk … Pesawat mendarat dengan mulus. “Ini sudah di darat yah?” Tanya saya saking tidak sabarnya mengusir rasa mual ini.
image courtesy: www.sxc.hu
2005-02-15 » Femi Adi