Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

untuk bos diujung meja

Monday 16 May 2005 - Filed under kubikel

ternyata bos itu juga suka menulis, menulis apaaaa aja. terimakasih. padanya aku bercerita:

aku punya secuil cerita. suatu hari aku ngobrol banyak dengan seorang teman. kami cerita soal pola magang nulis. juga, tentang pola tulisan. namun obrolan yang sampai detik ini tidak bisa kulupakan, bukan pola tulisan di kontan, tetapi pola berpikirnya tentang magang nulis.

tampaknya ia merasa ‘agak rugi’ ketika bosnya memintanya menulis sembari menjanjikan magang nulis secepatnya. sayangnya, magang nulis itu tak kunjung datang. yang ada adalah permintaan untuk menulis dan terus menulis. baginya, ini adalah hal yang cukup melelahkan. push kerjaan semakin banyak, sementara SK tak kunjung turun.

saat aku bercerita bahwa bosku menawariku untuk latihan nulis, bak kompor mleduk –meminjam istilah ulin dan umar– ia berkata, “jangan mau disuruh nulis, aku ditawarin nulis ya nggak diangkat magang sampai sekarang” begitu kira-kira keluhannya saat itu. ia juga bercerita panjang lebar mengenai lelahnya menulis dan tipisnya bahan tulisan. tapi tetap saja intinya sama, memintaku agar jangan dengan mudah menerima ‘iming-iming’ magang.

rasanya tangan ini seeprti dipotong ketika dia bicara seperti itu. untuk apa bekerja sebagai wartawan kalau tidak menulis. atau, untuk apa bekerja dari pagi hingga keesokan paginya kalau tidak bekerja sebagai wartawan. tangan ini adalah aset yang paling berharga, jadi kalau tidak dipakai untuk mengetik dan menulis, mau dipake apa. tapi waktu itu aku hanya diam aja.

so what?

tapi aku tak mengindahkan tanduk merahnya. aku mau-mau saja diminta mas cis buat nulis. sesekali aku goda mas cis, seperti semalam, aku bilang aku nggak mau nulis bisnis. tapi ya aku menulis juga. ya nggak jauh dari yang soft karena emmang kemampuanku baru sampe situ. maka aku menulis profil dan gaya. capek? tentu saja. tapi ini kan memberikan experience tersendiri. sama menariknya ketika aku menulis di kanisius dulu, atau menulis untuk beberapa buku.

kalau ia tampak agresif menanti SK magang, ya mungkin memang sudah segitu banyak proses lelah dan banting tulang yang sudh dia lewati. prosesku memang baru segini. jadi ya tunggu saja.

aku jadi ingat, dulu aku mulai menulis di Bernas sejak kelas 1 SMP, umurku 12 tahun. senengnya setengah mati kalau opini atau tulisan pendekku dimuat di Bernas. bukan sekadar nama yang tertera disana, tapi soal aktualisasi. waktu itu nggak dibayar sama sekali. reward nya, bu guru bahasa indonesia ku nggak pernah memberi nilai 7 di rapor. minimal 8. reward yang serupa juga kuterima saat aku kenlan dengan tetangga kamar di kosku di slipi itu. saat aku bilang pekerjaanku di jakarta adalah wartawan, dia langsung merewind ingatannya, dan langsung tanya, “kamu femi adiningsih ya, dulu di Bernas yah?” waktu itu, mau nangis rasanya. itu sudah lebih dari 5 tahun, dan masih ada orang yang mengingat aku. dia juga masih mengingat nama esti rahayu, kakakku, yang dulu juga sering menulis di Bernas. reward lain, tulisanku selama 6 tahun di Bernas menjadi tiket masuk atmajaya untuk kuliah gratis sampai lulus.

aku senang menulis, titik. nggak usah diimbuhi dengan label ‘pekerjaan wartawan’ pun aku sudah senang menulis. rasanya, hampiir jarang aku menolak permintaan mas cis untuk menulis, kecuali kalo aku lagi capek banget, seperti nulis soal pesawat trike beberapa bulan lalu.

rasanya nggak ada bedanya saat aku menulis di bernas, di kanisius dan dan di kontan. sauasanya ya begini-begini juga. orangnya asik dan aku bisa mencuri ilmu dari orang2 yang lebih jagoan nulis. bedanya hanya terletak pada orang-orangnya, dan materinya.

dengan menyukai menulis,aku ga merasa terbebani dengan nominal gaji, PK, banyaknya narasumber yang harus diwawancara, dan waktu yang kuhabiskan berhari-hari di kantor.

bos di ujung meja, thanks for raising me up and remind me that this work means a life.

Tagged: » » » »

2005-05-16  »  Femi Adi