Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

recehan buat mereka

Tuesday 7 February 2006 - Filed under ragam cuatan

seorang lelaki tua berjalan tertatih, membawa sebuah payung panjang.

“Neng, kalau mau ke meruya ilir masih jauh ya? saya teh tadi jalan. saya dari banten,” ujarnya terbata.

“Masih, pak. harus naik angkutan lagi untuk sampai ke meruya ilir,” jawab saya.

“Kalau ada, minta 5000 neng, untuk makan,” katanya lagi. saya pun buru-buru mengambil dompet kecil saya, dan merogoh Rp 5000 di sana. saya mengulurkan duit itu untuknya, ia tampak tersenyum lega.

***

saya jadi ingat seorang ibu tua yang matanya berkaca-kaca, beberapa bulan yang lalu. ia mengaku kehabisan ongkos untuk pulang ke tangerang. saya menjumpainya di bundaran slipi, saat hendak menyeberang.

“Neng, ibu harus pulang ke tangerang, tapi kehabisan ongkos. ada uang neng?” tanyanya dengan nada yang lirih. wajahnya memelas. matanya berkaca-kaca.

“Ibu butuh berapa?” tanya saya.

“Asal cukup untuk pulang ke tangerang, neng,” katanya. ia tampak bingung, kemana arah tangerang. saya pun mengajaknya untuk menyeberang ke arah halte bus menuju tangerang. saya membeli dua teh botol, satu untuk saya, dan satu lagi untuknya. awalnya ia menolak. mungkin, ia tak membutuhkannya. ia hanya membutuhkan ongkos untuk pulang ke rumahnya di tangerang. mungkin juga, ia malu untuk menerimanya.

“Ibu, nanti naik bis yang ke arah tangerang. itu, bisnya sudah datang. ibu naik itu, ongkosnya Rp 3500. nanti sisanya ambil saja untuk ongkos sampai ke rumah,” kata saya sambil menyodorkan lembaran Rp 10 ribu.

lihat, bus sudah datang. saya memintanya untuk segera naik. saya melihatnya sampai bus itu beranjak dari bundaran slipi, ke tangerang.

***

lagi. hari sudah gelap saat saya keluar dari sebuah internet cafe di bilangan benhil. saya harus segera ke kos karena sudah larut. saat menunggu tukang ojek, seorang ibu tua berbadan tipis menyapa saya.

“Malam neng … saya mau pulang, saya diberi ongkos pulang …” ujarnya.

“Ibu mau pulang kemana?”

“Saya mau pulang ke tangerang … saya kehabisan ongkos … ” katanya. saya melirik jam saya. kasihan. sudah malam. sudah larut. sebentar lagi akan menjadi malam yang mengerikan bagi seorang ibu tua yang harus berjalan hingga benhil, menyeberang ke arah atmajaya dan menunggu bus ke arah tangerang. uwh … saya merogoh kantong saya. saya beri Rp 8000 untuknya.

“Terimakasih neng …”

***

siapa mereka? saya tak kenal. bukan sanak, bukan kadang. tapi saya tak peduli. membantu orang kan nggak harus mengenalnya lebih dulu. saya bisa membeli sandal seharga Rp 90 ribu, bahkan lebih. saya bisa makan di chatterbox dan habis hingga Rp 100 ribu, bahkan di tempat lain lebih. saya bisa naik pesawat seharga Rp 400 ribu one way, bahkan di masakapai lain bisa lebih. saya bisa naik taksi dan menghabiskan argo hingga Rp 80 ribu untuk sekali jalan, bahkan bisa lebih. kenapa saya harus ragu mengeluarkan Rp 5000 hingga Rp 10 ribu?

Tuhan, terimakasih saya masih Kamu beri hati untuk bisa melihat dan Kamu beri indera untuk mengerti. uang itu bukan milikku, tapi milikMu, sepertiĀ  hidup ini juga bukan punyaku, tapi punyaMu. terimakasih, Kamu mengajari saya untuk berbagi dengan orang lain, bahkan dengan orang yang tidak kenal.

Tagged: » » » »

2006-02-07  »  femi adi soempeno

  • Browse in category: ragam cuatan -