Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

rumah sakit

Friday 19 May 2006 - Filed under cerita bumijo

adakah yang lebih mengerikan ketimbang rumah sakit?

tabung oksigen biru dengan gelembung kecil. infus dan pipa panjang yang menusuk tangan. tempat tidur putih beroda. sprei dan bantal yang serba putih. bau karbol lantai yang menyengat. suara roda tempat tidur yang memecah hening. tangis duka dari kamar jenazah. jeritan nyeri dari UGD. wajah tenang memasuki ruang operasi. kabar burung soal suster ngesot. deretan ranjang putih kosong. balutan perban pada kepala dan kaki. buncahan perih yang terdengar di ujung malam. bekas luka. darah yang mengalir.

hmmh … saya selalu bergidik bila merasai rumah sakit dengan segenap indera saya.

saya merasa takut dengan rumah sakit saat ayah sakit. saat itu saya masih kecil, dan ayah harus opname karena daging yang tumbuh di lehernya. daging itu harus dicabut dari lehernya. katanya, dengan pisau. dengan jarum. dengan pinset tajam. dengan … orang-orang di sekitar saya menggodai saya dengan mengatakan bahwa seberang kamar ayah adalah ruang jenazah. “disanalah orang yang sudah mati di rumah sakit dimandikan. dibersihkan. dicuci. kemudian siap dibawa pulang,” ujar seseorang pada femi kecil. sejak itu, melihat tempat tidur yang terparkir di selasar rumah sakit, saya merasa ada jenazah nganggur disana.

hingga suatu hari saat ibu opname karena patah tulang engsel yang dideritanya, enam tahun silam. saya sungguh berpapasan dengan sebuah jenazah. saya datang dari arah utara, mau ke selatan. sebaliknya, si jenazah datang dari timur, mau ke barat. kami bertemu di persimpangan selasar. rasanya jantung saya berhenti saat dua suster mengaraknya menuju kamar jenazah. mata saya tak bisa lepas dari badan yang teronggok dengan tonjolan di bagian kepala, tangan dan kaki. semuanya tertutup dengan kain putih. .. uhm, nyali saya terasa ciut.

dan tadi malam, sedetik yang mencekam itu datang kembali. saya menuju ke arah pintu keluar rumah sakit. kemudian dari arah yang berlawanan, dari kejauhan saya sudah melihat tempat tidur dengan yang tertutup kain putih. saya mencoba untuk tidak berpikiran macam-macam. “oh, ada bed kosong …” siapa tahu, itu dari bangsal carolus. siapa tahu, itu dari bangsal lukas. siapa tahu, itu dari bangsal elisabeth. hingga detik itu tiba. mata saya tak bisa pergi dari tonjolan di bagian kepala. tangan yang mengatup di dada. dan kaki yang menonjolkan jemarinya. badan itu tertutup dengan kain putih. jantung saya langsung rontok seketika. ling lung. seperti orang hilang. mencoba berjalan cepat. dan sangat cepat. dan terus cepat. dan lebih cepat.

tak hanya itu saja. menuruni anak tangga dari lantai dua ke lantai satu, dari bangsa elisabeth maupun dari poli anak dan laborat, jelas di depan mata jajaran tempat tidur putih. tak ada kasur. kosong. besi-besi terangkai sempurna. terlihat tua dan kuno walau bersih. tapi tetap, saya memilih untuk lari menuruni tangga dengan cepat.

ICU. lorong yang sunyi. panjang. terang, namun terasa singup dengan dinding yang tinggi dan lebar lorong yang tak seberapa. “mbak, lampu diatas bisa dinyalakan nggak sih? kalau bisa, tolong dinyalakan dong!” pinta saya pada cleaning service. dengan lampu yang menyala terang, setidaknya bisa sejenak mengusir rasa singup yang hinggap di diri saya.

rumah sakkit mengingatkan saya pada almarhum Rombeng. pompa jantungnya tak mampu menahan dan memperpanjang hidupnya. rumah sakit mengingatkan saya pada almarhum ibu dan mbah putri. nafas terakhirnya berhembus disini. rumah sakit mengingatkan saya pada jeritan kecil rasa perih ibu saat ia tak bisa  berdiri dan berjalan layaknya orang sehat.

jadi, jangan bawa saya ke rumah sakit. indera ini terlalu peka untuk mengingat dan merasai ngerinya rumah sakit.

Tagged: » » » » » »

2006-05-19  »  femi adi soempeno