ayah, anak bungsumu pulang
Monday 12 June 2006 - Filed under cerita bumijo
saya berjalan pelan. tadi kereta berhenti sejenak di stasiun tugu.
seperti biasa, saya kebelet pipis setiba di rumah. saya meletakkan tas dengan agak kasar, dan langsung berlari kecil ke kamar mandi. tapi … alamak! ga ada air! rabu lalu saat saya ke jakarta, saya memang menguras bath tub ini. yah, biar nggak ada nyamuk. tapi, bagaimana mau cebok dan mengguyur kamar mandi kalau ga ada air begini. jadi ya … ala kadarnya aja. hanya bisa menadah segayung air untuk cebok. selebihnya, nanti tunggu bath tub ini penuh, baru kamar mandi bisa diguyur.
saya membuka pintu rumah. rasanya kemba … hmmm, apa bahasa indonesianya ya? rasanya hampa! nah, iya rasanya hampa. biasanya ayah sudah menyambut putri bungsunya dengan senyum cerah. kadang, juga dengan senyum kelaparan. tetapi tidak sabtu lalu.tak ada senyum ayah. yang ada hanya gulita, dan bias cahaya putih dari ruang tengah. saya tahu, ayah sudah tak ada.
tapi saya tetap menyapa ayah. saya tahu, ayah masih ada di rumah ini. mungkin lagi berkebun. mungkin lagi menyapu. “hello dad … ” begitu sapa saya, sperti biasanya. tapi saya tidak berteriak seperti yang biasa saya lakukan. hanya seperti bicara biasa, seperti bicara pada seseorang. saya tahu, hati saya luruh saat itu.
saya langsung mencari kemoceng dan mengemocengi rumah. saya mencari sapu dan menyapu rumah. saya mencopot korden dan mencucinya. saya mengumpulkan semua kain kotor dan mencucinya. saya menyeterika baju dan menyimpannya di dalam lemari. saya membuat seisi dalam rumah menjadi sedikit lebih bersih dan tertata. tetapi saya tahu, penataan seperti ini tak seperti ayah yang biasa menata. ayah bisa mengatur rumah menjadi terlihat lebih bersih. lebih rapi. (ayah, ayah tahu kan, anakmu ini selalu terima beres dari ayah? )
sore, saya mandi buru-buru dan ke gereja. saya juga mengajak ayah ke gereja. “be, ke gereja yuk!” kata saya sambil melemparkan senyum pada foto ayah yang terpajang di meja tengah. malam, saya tidur dengan rasa letih yang amat sangat. saya juga meminta ayah untuk mengeloni saya. “be, femi tidur di kasur ayah. keloni ya!” saya tahu, malam itu malam terbaik saya di rumah: tidur ditemani ayah.
dan paginya saya mengunjungi ayah dirumahnya yang baru. satu per satu bunga besar tanda dukacita saya singkirkan. soalnya, sudah mulai merubuhi bagian nisan tetangga. seikat lidi yang sangat kokoh milik mbak min mengusir bunga kering dari pekarangan rumah ayah. juga, kawah salib di rumah ibu. satu per satu bunga mawar merah jambu dan putih saya tata di atas tanah ayah dan kawah ibu. padaNya, saya berdoa agar ayah dan ibu bahagia di alam yang baru, dan senantiasa diberi jalan untuk menuju rumahNya.
keceriaan datang menyapa. siang di hari minggu, empat kakak menghibur si bungsu yang kesepian. “aku sudah dipesenin sama bojoku, supaya kirim sms yang hepi-hepi saja buat kamu … takutnya nanti kamu ketakutan di rumah sendirian, nanti lari … lari mau kemana …” seloroh kakak nomor dua.
kemudian saya bercerita tentang kereta terakhir yang saya tumpangi, 13 mei lalu. saya bercerita soal kereta yang tak pernah penuh saya bayar. saya bercerita soal kondekttur dan masinis yang menerima separo harga tiket. “kerugian PT KAI …” ujar kakak nomor tiga yang diikuti dnegan derai tawa kami semua. saya kemudian bercerita bahwa berkereta dengan tiket setengah harga sudah saya lakukan selama dua tahun ini. “kerugian PT KAI selama 2 tahun …” sontak tawa kami meledak kembali.
terima kasih. terima kasih ya untuk tawa hangat kalian. untuk senyum persaudaraan kalian. saya tahu kita hanya ber-separo-darah. tapi itu tak jadi soal, bukan?
sore menjemput. saya berpamitan pada ayah, “be, femi pulang jakarta ya …” kemudian mengunci pintu dan melangkah keluar rumah dengan langkah yang sangat berat. “ayah, saya pasti kembali lagi minggu depan. merapikan kebun. membersihkan rumah. menyapu halaman. dan yang lebih utama, menjengukmu!” bisik saya pada ayah.
2006-06-12 » femi adi soempeno