(Mbah) Lik Bandiyah
Thursday 19 October 2006 - Filed under cerita bumijo
saya kangen dengan ayah dan ibu.
makanya, sore tadi saya berkunjung ke ‘rumah’ mereka di turi. ya, sembari membawa saru keranjang bunga mawar merah dan putih, segar. saya lihat, beberapa orang sudah mulai membersihkan makam. “hari ini membersihkan, besok juga, dan lusa juga!” tukas seorang bapak-bapak tua sambil terus menggerakkan seikat lidi nan kuat.
ya, saya kangen dengan ayah dan ibu.
buru-buru, saya membersihkan nisan ibu, mengguyurnya dengan sabun porslen, membilasnya dengan air bersih dan mengusap dengan kain agar kering. saya memungut bunga mawar merah dan putih yang mengering yang saya taburkan dua minggu lalu. “dad, Im here. Im home …” bisik saya pada ayah. saya kemudian bercerita pada mereka soal letihnya deadline dua minggu terakhir, plus rencana liburan lebaran saya. pasti mereka saling bergumam, “oalah fem … bocah kok ra nduwe wudel …”
saya berharap lebaran ini mereka menemani saya.
liburan kali ini sepi rasanya. tanpa ibu, tanpa ayah, tanpa kakak. saudara? ehm, ada, tapi … ya, andai saya saya masih punya orang tua, dan kakak saya tak bepergian jauh. kira-kira, besok mereka akan ada di rumah simbah tidak ya saat semua kerabat berkumpul?
saya berharap ayah dan ibu menjahili om-om dan tante-tante yang -pernah- berniat tak baik pada mereka. saya berharap ayah dan ibu menumpahkan opor kuning pada kemeja koko dan baju muslim om-om dan tante-tante yang sirik pada keluarga kami. saya berharap ayah dan ibu menjulurkan kaki mereka sehingga om-om dan tante-tante jatuh terjungkal.
hehehehe …
harapan saya ini buruk nggak ya? eh, tapi ayah dan ibu jangan menjahili mbah lik, atau simbah cilik ya. iya, jangan mengisengi lik bandiyah. mestinya, saya memanggilnya simbah bandiyah. tapi karena ibu biasa memanggilnya dengan sebutan ‘lik ban’ saja, maka, saya mengekor ibu memanggil sebutan yang sama.
sore tadi, lik ban memasakkan tempe garit dan jangan gori untuk santap malam. tanpa direncanakan terlebih dahulu, saya membawa pepes pindang dan pepes tahu, plus sambal. tapi saya mesti nunggu nasi hangat yang dimasak dengan ketel di atas tungku kayu. aih … tak apa.
nikmatnya? tak kira-kira! perut kenyang, hati senang. terima kasih lik ban!
2006-10-19 » femi adi soempeno