Dua scoop Ragusa
Saturday 16 December 2006 - Filed under isu indonesia + kegemaran + kuliner
Es krim ragusa
Jalan Veteran, Gambir, Jakarta, atau Carrefour-Harmoni
Panther merah milik mas pringgo terparkir sempurna di bahu jalan di jalan veteran. Lidah kami sudah tak sabar dibubuhi dengan dinginnya es krim ragusa.
Jika dilihat dari penampilan fisik bangunannya, kedai es krim ini sangat sederhana. Ia berupa bangunan tua berbentuk memanjang yang terletak di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Bunyi gemuruh kereta api dari dan ke Stasiun Gambir selalu menemani bangunan ini sejak 70 tahun lalu. Di sana hanya ada 50 kursi rotan yang menemani sebelas meja bundar. Sejak 1932 di sini tak ada hidangan lain kecuali Ragusa, es krim asal Italia.
Nama ini, memang, bukan sekadar comot. Ragusa adalah nama belakang pemiliknya, Vinzenso Ragusa dan Luwizi Ragusa, dua bersaudara yang asli Italia. Semula mereka berniat menjadi penjahit. Karena itu, keduanya belajar di Saint & Co. Tapi, justru di tempat inilah Ragusa bersaudara bertemu dengan Paula, seorang janda bangsa Belanda, yang mempunyai peternakan sapi di daerah Bandung. Dari pertemanan tersebut, timbul ide untuk membuat sebuah kedai es krim.
Kebetulan, kakak beradik ini mempunyai keahlian membuat es krim. Dari situlah awal berdirinya Ragusa di Jalan Ir. H. Juanda yang kemudian pada 1947 pindah ke Jalan Veteran I No.10, Jakarta Pusat. “Jadi, kami di tempat ini sudah 55 tahun,” kata Sias Mawarni, 60 tahun, pemilik Ragusa yang sekarang.
Dagang es krim yang dibarengi usaha jahitan ini pun-tanpa disangka-berkembang pesat. Bahkan, sejak dulu berhasil memikat langganan dari kalangan atas. Tak terkecuali Presiden Soekarno, Soeharto, hingga Habibie. “Hampir setiap buka puasa mereka minta disediakan es krim Ragusa,” tutur Sias dengan logat khas Jakarta. Bahkan, Habibie menjadi langganan tetapnya sejak belum menjadi menteri.
Tapi, jangan dikira karena pelanggannya orang penting istana, usaha es krim ini berjalan mulus. Pada 1965 usaha es krim ini nyaris tutup karena sepi pelanggan. Untunglah masa krisis tidak berlangsung lama. Usaha ini mulai ramai kembali.
Tak lama setelah itu, Ragusa bersaudara kembali ke negerinya. Usaha es krim diserahkan kepada mertua Sias, yang menjadi mitra dalam usaha menjahit. Persahabatan lain bangsa ini, hingga sekarang, masih tetap berlangsung. Vinzenso yang sudah berumur 95 tahun, beserta istrinya, sampai saat ini tetap mendapatkan bagian dari keuntungan kedai es krim Ragusa. “Sesekali mereka juga datang ke Indonesia. Dan mereka sangat senang, karena kedai es krimnya masih ada hingga sekarang,” kata Sias dengan mata berkaca-kaca.
Mempertahankan kedai es krim selama itu, memang, bukan perkara mudah. Apalagi di tengah-tengah bermunculannya nama besar di industri es krim. Tapi, rupanya, “kelebihan” Ragusa sudah dikenal betul pelanggannya. Salah satunya, produk mereka antibahan pengawet. “Kalau rasa durian, ya, pakai durian asli. Kadang kami harus memakai durian Bangkok, tapi jualnya enggak mahal-mahal,” kata Sias berpromosi.
Bahan dasar yang digunakan juga sederhana, hanya susu, gula, air, dan telur. Susu yang digunakan harus melalui proses pasteurisasi. Nah, karena tanpa pengawet, es krim buatan Sias ini hanya bertahan dua hari.Yang tak laku dalam rentang waktu tersebut langsung dibuang. “Karena yang kedaluwarsa rasanya kasar dan enggak enak. Sama seperti kue basah,” ujarnya lagi.
Kedai Ragusa sendiri hanya membuat tujuh macam rasa dasar: vanila, cokelat, stroberi, moka, durian, nouget, dan rum raisin. Nah, dari ketujuh macam rasa dasar inilah Sias mengombinasikan rasa yang satu dengan rasa lainnya hingga menghasilkan beberapa macam nama es krim. Misalnya: vanila, cokelat, dan stroberi bisa dibuat Banana Split. Lalu vanila, cokelat, dan nouget bisa menghasilkan es krim Tutti Fruti.
Sejak 1976 Sias mengembangkan usahanya dengan menambah menu masakan. Jadi, Ragusa tidak lagi hanya menjual es krim, melainkan juga makanan. Tapi, hanya cabang tertentu saja yang menjual hidangan lain. Biarpun begitu, tetap saja yang paling laris es krimnya. Sampai-sampai banyak order yang tak terlayani. Bahkan, ajakan untuk bekerja sama pun tak bisa dipenuhi seluruhnya, kendati Sias sudah menambah dua mesin pengaduk yang harganya hingga Rp 200 juta per unit. “Tawaran dari Matahari, Hero, dan Lippo Karawaci untuk buka di sana belum bisa saya penuhi. Soalnya, modal kami tak banyak,” katanya. Maklum, untuk melayani enam restoran miliknya saja, Sias sudah merasa kedodoran.
Sebenarnya, Sias berencana untuk mewaralabakan Ragusa. Cuma, niat ini tidak didukung suaminya. Mungkin, itu sebabnya yang membuat usaha ini kurang berkembang cepat. Bahkan, gara-gara krisis, di tahun 1998, Ragusa telah menutup 14 dari 20 cabangnya yang saat itu sudah berdiri. Yang tersisa kini tinggal gerai yang berada di Veteran, Mal Cinere, Duta Merlin, Taste Of Asia-Ancol, Puncak Pass, dan Sindanglaya-Cipanas.
Keuletan dan turun tangan sendiri adalah salah satu resep Sias dan suaminya untuk mempertahankan usaha kedai es krim ini. Selain itu, memelihara kesetiaan karyawan pun merupakan salah satu jurus andalan lain. “Mereka rata-rata senang bekerja di sini. Bahkan, ada yang sudah menjadi karyawan selama 40 tahun,” tutur Sias.
Sayang, seperti halnya kerajaan bisnis lain, Ragusa pun terancam musnah dari permukaan bumi ini. Pasalnya, tak seorang pun anak Sias yang berniat melanjutkan usaha ini. Tapi, syukurlah ada seorang menantu perempuannya yang menyatakan bersedia meneruskan Ragusa. “Dia sekarang sudah mulai belajar mengelola bisnis ini,” kata Sias, bangga.
harga es krim: Rp 7.000-26.000
harga jajanan (sate, asinan, otak-otak): Rp 15.000
2006-12-16 » femi adi soempeno
27 August 2007 @ 4:26 am
Dengar2 di ragussa duta merlin juga jual tom yam soup yah? bener gak sih?
thx
7 August 2008 @ 10:40 am
jadi pengen nyobain Tutti Frutti-nya..