Jalan yang selalu sama
Thursday 4 January 2007 - Filed under cerita bumijo
seperti mesin yang otomatis: jalan yang saya lalui selalu sama. jalanan berkonblok itu berkelok, naik turun. lebarnya gang besar itu hanya bisa dimuati dengan satu mobil dan satu rdoa dua. hingga saya menemukan rumah yang letaknya agak tinggi dengan gang kecil di sebelahnya, nah, disanalah kendaraan harus diparkirkan.
pulang ke jogja adalah mengasup energi yang datang dari orang-orang yang saya cintai dan mencintai saya, yaitu ayah ibu, dan aura rumah yang senantiasa hangat.
sejak akhir tahun 2000, aktivitas mingguan saya tak pernah berubah: menjadualkan beberapa jam untuk berjumpa dengan ibu. menjadi 20 tahun rasanya terlalu kecil untuk menjadi anak piatu, berayah namun tak beribu. meski masih ada ayah, tetapi hidup rasanya tak sesempurna bila ada ibu. meski esti, kakak perempuan saya kemudian bermetamorfosis menjadi seorang perempuan dewasa yang tangguh dan bertanggungjawab dengan kehidupan keseharian, rasanya itu belum cukup. yang saya butuhkan adalah ibu, kehadiran ibu.
saya berjumpa dengan ibu bersama dengan esti, maupun ayah. kami mengusung tas biru bikinan ibu dan mengisinya dengan sebotol air keran, kain lap, dupa bali, dan korek api. dulu, tas biru ini sering dgunakan ibu untuk membawa makanan untuk nenek. bentuknya sederhana, tas kecil jinjing. kemudian, kami mampir belanja sekeranjang bunga dari pasar kranggan. sebisanya, kami memilih bunga yang segar yang baru turun dari kendaraan yang membawanya dari bandungan. bunga yang kami pilih adalah bunga yang masih ada di tampah (nampan besar dari bambu).
perjalanan kemudian diteruskan dengan menuju rumah ibu di kembangarum, turi. disana, ibu tinggal. sebelah menyebelah dengan ibu, ada mbahkung, mbahti, lik sum, mbah buyut kakung dan putri, lik sum, dan beberapa kerabat jauh.
gerbang sebuah gang besar yang jamak dijumpai di desa-desa menjadi penanda pintu masuk ke rumah ibu. kami harus berbagi senyum dengan orang-orang yang tengah berjalan sambil mengusung kayu bakar, dengan simbah-simbah yang usai panen salak, dengan orang-orang yang tengah meriung di depn rumah. jalanan berkonblok itu berkelok, naik turun. lebarnya gang besar itu hanya bisa dimuati dengan satu mobil dan satu rdoa dua. hingga kami menemukan rumah yang letaknya agak tinggi dengan gang kecil di sebelahnya, nah, disanalah kendaraan harus diparkirkan.
“assalamualaikum …” kata saya atau kaka saya, sembari meninggalkan dua-tiga bunga mawar merah atau putih, persis di depan rumah ibu. dulu, ibu selalu mengajarkan ritual ini saban mengunjungi rumah simbah.
keceriaan saya, kakak saya dan ayah saya tak pernah berkurang saat berjumpa dengan ibu. kemudian kami saling berceloteh riang tentang warung makan pendowo yang lauknya begitu-begitu saja, atau tentang femi yang paling doyan merajuk, atau tentang esti yang kian menggendut, atau tentang rumah yang atapnya bocor. ayah selalu membisikkan kalimat yang sama pada ibu, “yo … sayang kowe ra iso melu menikmati …” atau, “coba kowe isih ono, yo …”
saya, esti dan ayah adalah sebuah tim kerja yang bagus saat berjumpa dengan ibu. saat saya menyapu rumah ibu, esti mengelap dinding rumahnya, dan ayah mencabuti rumput liar dan dedaunan yang membusuk di pohonnya. sambil mencelotehi banyak hal soal kehidupan seminggu belakangan, rasanya seperti … seperti ibu tengah mendengarkan dengan cermat dan duduk manis melihat tingkah kami.
dan setelahnya, kami berdoa.
untuk pengampunan si pemilik hidup atas dosa-dosa ibu. untuk kebahagiaan ibu di alamnya yang baru. untuk kekuatan bagi kami semua.
hidup pun berjalan terus. terus. terus. esti menjadi dosen di jogja. femi menjadi wartawan di jakarta. ayah semakin sibuk dengan murid-muridnya.
hingga beberapa kali, setiap jadual kunjungan ke rumah ibu, ayah kemudian menarikan dan menautkan dua jari telunjuknya membentuk sebuah kotak persegi. “bapak sesuk nek nang sebelahe ibu isih cukup …” atau, “isih ono nggon nggo bapak nang sebelahe ibu …” atau, “sesuk bapak ditumpuk wae lah karo ibu …” atau, “hmm … isih cukup … cukup … ”
sejak pertengahan tahun 2006, aktivitas mingguan saya tak pernah berubah: menjadualkan beberapa jam untuk berjumpa dengan ibu dan ayah. menjadi 26 tahun rasanya terlalu kecil untuk menjadi anak yatim piatu, tak berayah dan tak beribu. apalagi, esti yang sedarah dengan saya, melanjutkan hidupnya di negeri orang. saya kemudian bermetamorfosis menjadi seorang perempuan dewasa yang harus lebih tangguh dan lebih bertanggungjawab dengan kehidupan keseharian. yang saya butuhkan adalah ibu, ayah, esti. kehadiran ibu, kehadiran ayah dan kehadiran esti.
saya membungkus dua buket bunga dari sebuah toko bunga di kawasan kotabaru, atau dua keranjang bunga dari pasar kranggan. kendaraan roda dua kemudian saya lajukan menuju rumah ayah dan ibu di kembangarum, turi. setiap penanda gerbang besar itu sudah tampak, saya selalu membisikkan dalam hati, “sudah dekat!”
jalanan berkonblok itu berkelok, naik turun. lebarnya gang besar itu hanya bisa dimuati dengan satu mobil dan satu rdoa dua. hingga saya menemukan rumah yang letaknya agak tinggi dengan gang kecil di sebelahnya, nah, disanalah kendaraan harus diparkirkan.
saya tahu persis, jalan yang saya lalui ini selalu sama setiap minggu: mengunjungi ayah dan ibu di rumahnya. namun, hati dan jiwa saya selalu mengusung keriaan bila mengunjungi mereka. tanpa beban. tahu kenapa? karena saya segera akan menjumpai mereka dan mencelotehkan hidup seminggu belakangan.
(ps: tulisan ini saya bikin buat lelaki tambun yang setia di balik kubikelnya. maaf, saya tak bisa berkunjung ke river-country (kalinegoro). heyh, kamu nggak sendiri kok!)
2007-01-04 » femi adi soempeno
12 January 2007 @ 2:56 am
maaf-
saya memang agak tambun, dan saya berasal dari crocodile-forget mbolali…
dari sekian posting, kali ini aku komen serius:
menyentuh! jd merasa engga banget kalo beranggapan saat ini aku ‘yatim-piatu’