Dari Warisan Menjadi Andalan
Thursday 8 February 2007 - Filed under plesiran + ragam cuatan
Anda pernah berkunjung ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat? Kalau belum, cobalah ke sana dan nikmatilah gazebo yang ada di sekelilingnya. Bukan hanya sejuknya angin yang berembus, melainkan akan tampak pula keunikan tiang serta lantai yang menjadi pijakan Anda. Lantai? Ya, lantai yang terpasang di gazebo serta beberapa ruangan yang ada di keraton bukanlah terbuat dari keramik, bukan pula dari kayu jati ataupun marmer yang mengkilap. Tapi, lantai tersebut terbuat dari ubin alias tegel.
Tapi, tidak seperti tegel-tegel yang biasa kita temui, tegel yang ada di pendopo dan beberapa ruangan keraton tampak begitu kuno, klasik, serta bermotif. Nah, tahukah Anda di mana tegel-tegel kuno berumur puluhan tahun itu dibikin? Jangan lantas membuka buku-buku sejarah kuno untuk mencari siapa yang membuat tegel tersebut. Soalnya, sampai saat ini pabrik tegel dan beton merek Kunci, yang berdiri sejak 1929, masih terus berproduksi.
Produksi tegel kunci bukan sekadar produksi layaknya perusahaan tua yang hidup enggan mati pun tak hendak. Tapi, konsumen tegel kunci terus membeludak. Tak hanya keraton utama maupun kepatihan Yogya yang menjadi pelanggan tetap, hotel-hotel bintang lima di Jakarta dan Bali seperti Four Season dan Galeria pun memesan tegel dari Yogya ini. Selain itu, artis-artis top seperti Rano Karno, Maudy Koesnadi, Ida Royani, hingga bankir top seperti Robby Johan juga tercatat sebagai konsumen tegel bermotif merek kunci ini.
Tapi, mengapa pabrik tegel ini masih berdiri di tengah maraknya keramik? Mengapa pula banyak artis dan figur publik yang jauh-jauh datang untuk membeli tegel? Inilah salah satu kunci sukses tegel Kunci. Boleh dibilang, Kunci merupakan satu-satunya pabrik yang melayani pelanggannya secara individual. “Apa pun motif dan desain yang diinginkan pelanggan, kami akan layani,” ujar Bernie Liem, pemilik Kunci. Uniknya lagi, selain bisa memesan sesuai dengan keinginan, sang pemilik juga berani menjamin bahwa tegel pesanan tidak akan dibuat massal. “Jadi, jangan coba-coba meniru, deh. Kami pasti akan menolaknya,” ujar Bernie, mantap.
Adalah Liem Ing Hwie, yang tak lain mertua Bernie, yang menorehkan sejarah atas lahirnya pabrik tegel Kunci. Selulus kuliah dari Deflt, Belanda, Liem memutuskan untuk kembali Indonesia. Bersamaan dengan pulangnya Liem ke Indonesia tahun 1931, firma tegel Fabriek Midden Java yang didirikan Louis Marie Stocker dan Jules Gerrit Commane membutuhkan investor baru lantaran Jules keluar.
Saat itulah Liem masuk menggantikan Jules. Tak lama setelah peristiwa itu, Louis pun terpaksa harus meninggalkan pabrik lantaran pendudukan Belanda di Indonesia berakhir. “Tinggal Liem yang meneruskan usaha,” kata Bernie menceritakan sejarah perusahaannya.
Hanya, proses nasionalisasi yang dilakukan pemerintah secara serentak di tahun 1945 menjadikan kepemilikan Liem pun berpindah tangan ke pemerintah Indonesia. Hanya, pabrik tak langsung beroperasi lantaran pada saat bersamaan terjadi agresi militer Belanda II yang membumihanguskan Yogyakarta. Baru dua tahun berselang, 1947, pabrik kembali ke tangan Liem yang tentu saja berniat meneruskan usahanya. Sayang, pemerintah kembali menarik pabrik lantaran perusahaan Liem masih tercatat sebagai salah satu perusahaan yang didirikan orang Belanda.
Kali ini pemerintah tidak memegang langsung pabrik tegel milik Liem, tapi menyerahkannya ke Badan Pusat Penyelenggaraan Perusahaan-Perusahaan Industri dan Tambang atau Bappit. Tapi, itu tak berlangsung lama. Menurut Bernie, Bappit menyerahkan pabrik Liem berserta perusahaan-perusahan lain yang berbau sinyo Belanda ke Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di tangan pemda inilah pabrik tegel milik Liem berganti bendera menjadi Kunci. “Entahlah, siapa yang kasih nama. Yang saya ingat itu terjadi di tahun 1963,” kenang Liem.
Butuh waktu lama bagi keluarga Liem untuk bisa meminta kembali Kunci. “Mati-matian usaha kami,” kenang Bernie. Menurut Bernie, sebagai pewaris perusahaan, Paul Liem-suami Bernie-harus mondar-mondir untuk bisa mendapatkan pabrik ayahnya lagi. Baru dua belas tahun kemudian Paul berhasil meminta kembali perusahaan. Bukan waktu yang pendek memang. “Jadi, kami memang harus bersabar, menunggu pabrik kembali,” sambung Bernie. Itu pun, menurut Bernie, harus dengan bantuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang kala itu menjabat sebagai Menteri Ekonomi di tahun 1973.
Lebih suka mempertahankan kelestariannya
Sayang, proses pengembalian pabrik tidak bisa 100%. Entah dengan alasan apa, menurut Bernie, pemerintah pusat emoh mengembalikan cabang Kunci yang ada di Jakarta. Tapi, “Itu sudah merupakan kompromi,” lanjutnya. Hanya, lantaran sudah lama tidak mendapat perhatian dan sentuhan yang penuh, banyak peralatan dan barang-barang yang lenyap. Karena itulah, Bernie dan Paul harus kembali memulai dari nol. Upaya pasangan suami istri ini membawa hasil. Pelan tapi pasti, pabrik mulai beroperasi kembali. Hanya, ketika pabrik mulai menjalankan rodanya, “Suami saya meninggal,” kenang Bernie sedih.
Dus, lantaran tidak mempunyai saudara kandung lain, Bernielah yang kebagian tugas menjalankan pabrik. Tidak mudah memang. Cuma tekad dan niat untuk tetap mempertahankan warisan keluarga Liem yang membuat Bernie mati-matian. Apalagi, dirinya hanyalah seorang guru bahasa Jerman. “Saya benar-benar belajar bisnis dari tidak tahu apa-apa,” ujarnya. Semangat dan keinginan untuk meneruskan keinginan almarhum suaminnyalah, bilang Bernie, yang menjadi pendorong dalam menjalankan usaha. “Saya hanya ingin mempertahankan karakteristik usaha tegel ini. Tidak ingin yang lain,” ujarnya merendah.
Boleh jadi, karena alasan itu pula Bernie rela melepas Hotel Phoenix, di Yogyakarta, yang juga tercatat sebagai milik Liem. Setelah mati-matian merenovasi, ia pun harus rela melepas kepada orang lain. “Terlalu susah mengurusnya,” ujar ibu dua anak ini, mantap. Apalagi, dari hasil penjualan tegel saja, Bernie mengaku, sudah cukup untuk menghidupi keluarganya. “Hasil penjualannya lumayan,” ujar perempuan yang mengaku lebih tertarik mempertahankan kelestarian hasil produknya ketimbang keuntungan.
(reportase oleh femi, ditulis oleh titis)
2007-02-08 » femi adi soempeno
6 May 2008 @ 10:13 am
[...] blusukan di Jalan Patuk Yogyakarta. Saya bertemu teman lama yang kebetulan saat ini bekerja di Pabrik Tegel Kunci. Sebut dia Bang Ben. Dari dialah saya bisa berlama – lama di pabrik tersebut untuk sekedar ngobrol [...]