Menenun benang menjadi uang
Thursday 15 March 2007 - Filed under cerita bumijo + kubikel
YOGYAKARTA. Dari kejauhan, suara mesin tenun tradisional itu sudah terdengar. “Jglok … jglok … jglok …” kira-kira, bunyinya seperti itu. Suara itu datang dari kayuhan 20 karyawan Koperasi Tenun Mumbul, Boro, Banjarasri, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Mereka menenun serbet, kain pel, selimut, sarung, handuk, hingga seragam sekolah. “Semua mesin yang ada disini menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), jadi masih menggunakan tenaga manusia,” kata Gregorius Pargiatin, ketua Koperasi Tenun Mumbul.
Umur koperasi ini sudah lebih dari setengah abad. Tahun 1950, Bruder Yusue FIC dari Belanda sengaja membangun koperasi ini untuk memajukan ekonomi di kawasan Boro. Maklum, di daerah itu juga, terdapat Sekolah Teknik bagian Tenun dan Jahit. Dengan menggunakan gedung Jawatan Sosial (Kini Departemen Sosial), koperasi ini berkembang dan bertahan hingga saat ini. Konon, nama ‘mumbul’ ini dipilih Yesue dengan harapan koperasi ini akan terus naik atau berjaya.
Bahan baku tenun ini hanya benang koin dan cat sebagai pewarna. Semua material tersebut disuplai dari induk koperasi ini, yaitu Yayasan Santa Maria. Kalau kurang, koperasi ini menambal sendiri. Yayasan ini pula yang memberi pesanan pada koperasi sehingga dapur bisa terus ngebul. “Tetapi diluar itu, kami juga boleh mencari pasar sendiri,” imbuh Pargiatin.
Koperasi ini menggunakan kapas 100%. Konon, inilah tenun khas Boro. Itu sebabnya, harga tenun buatan Boro sedikit lebih mahal ketimbang lainnya. Sebagai perbandingan, selembar serbet makan di pasar tradisional harganya Rp 3.000, sedangkan serbet buatan Boro mencapai Rp 9.000. “Karena dari kapas, maka daya resapnya lebih bagus,” jelas Pargiatin.
Produk-produk buatan tangan ini prosesnya cukup panjang. Awalnya dari benang koin yang distreng atau diuraikan. Tujuannya, untuk mempermudah pewarnaan. Benang-benang ini diwarna sesuai dengan pesanan. Misalnya sebuah sekolah di Papua memesan seragam bermotif kotak-kotak berwarna cokelat-merah-putih-hitam, maka Pargiatin harus membeli cat sesuai warna pesanan.
Setelah dicat, benang dilos atau dikemas dalam ukuran yang lebih kecil. Kemudian, benang yang sudah dilos ini disekir atau disusun sesuai dengan motif kain yang dipesan. Sesudahnya, benang dibum atau digulungkan dalam pipa kayu yang besar. Pipa ini nanti yang dipasangkan dalam alat tenun. Saat terpasang di mesin tenun, benang akan di gun dan disisir sesuai motifnya.
Setiap helaian benang dihitung secara tepat atau presisi. Hitungan ini berguna untuk menentukan sisir yang dilekatkan pada mesin tenun. Soalnya, ada beragam sisir yang dimiliki koperasi sesuai dengan motifnya. Contohnya, sisir 60 memuat 8 helai benang per cm. sisir 45 memuat 9 helai benang per cm. sisir 70 memuat 14 helai benang per cm. Biasanya, kain seragam bermotif kotak-kotak menggunakan sisir 70, sedangkan lap pel menggunakan sisir 45.
Setiap hari, koperasi ini bisa membuat selimut sepanjang 6 meter dan handuk 7-8 potong dengan ukuran masing-masing 1,2 meter. Untuk kain pel, koperasi ini menenun sepanjang 5-6 meter per hari, selimut bayi 3 meter per hari dan serbet sebanyak 10 potong per hari dengan ukuran 65 x 65 cm. “Untuk seragam, panjangnya harus 50 meter per gulung. Kalau kain pel, 25 meter per gulung,” tukas Hendrikus Surdiwiatno, pengurus Koperasi Tenun Mumbul.
Meski luas, namun pasar yang digarap oleh koperasi ini cukup spesifik. Yaitu sekolah, rumah sakit dan asrama-asrama. “Sebenarnya siapapun boleh membeli, asal datang kemari,” tambah Hendrikus. Tenunan bikinan Boro ini sudah menembus Jakarta, Semarang, Yogyakarta, bahkan Papua. Rupanya, mereka memanfaatkan jaringan Katolik yang ada di seluruh Indonesia.
Sekali pesan, sebuah institusi bisa memesan nilainya mencapai jutaan rupiah. Yang jelas, Pengolahan benang menjadi kain ini mendatangkan untung yang lumayan bagi koperasi ini. “Setiap bulan, omset kami bisa mencapai Rp 10-12 juta. Kalau sedang banyak pesanan, malah bisa mencapai Rp 25 juta,” terang Pargiatin.
Koperasi ini memang tidak mendistribusikan produknya ke pasar tradisional maupun modern. Itu sebabnya, banyak pengunjung yang sengaja mampir ke koperasi ini saat mereka melewati kawasan Boro. Katanya, malah tidak sedikit pengunjung yang mampir ke Boro usai peziarahan mereka di Sendangsono. Mereka membungkus tenunan Boro dari stok yang dimiliki oleh koperasi ini.
Koperasi ini menjual produknya dengan harga yang bermacam-macam. Yaitu, serbet Rp 9.000 per lembar, kain pel Rp 15.000 per potong, hingga selimut Rp 40.000 per potong. Harga ini tidak dipatok oleh koperasi, melainkan Yayasan Santa Maria. Walaupun Yayasan ini juga memiliki pengolahan tenun lain selain Koperasi Mumbul, tetapi harga yang dipasang tetap sama.
Mesin tenun yang masih tradisional ini tidak membutuhkan perawatan yang spesial. Maklum, daya tahan mesin ini sangat kuat lantaran terbuat dari kayu jati. Jika dihargai, satu unit mesin tenun tradisional yang berukuran kecil Rp 2 juta per unit, sedangkan yang besar Rp 5 juta per unit. Lebih dari separo dari 18 mesin yang ada di sini adalah mesin tenun kecil.
Jumlah karyawan di koperasi ini sekitar 30 orang. Tetapi, mereka tidak bekerja setiap hari. Ada karyawan yang memang bekerja setiap hari, ada yang bekerja berdasarkan pesanan. “Kalau pesanan sedang banyak, mereka yang ‘libur’ itu dipanggil,” terang Hendrikus. Kebanyakan karyawan berasal dari daerah Sendangsono, Samigaluh dan Sleman.
Hampir semua karyawan di koperasi ini tidak menjadikan tenunan sebagai satu-satunya mata pencaharian. Di rumah, mereka masih menjadi petani dan peternak. Jadi, usai bekerja dari pukul 07.00-14.00, dirumah mereka punya kesibukan yang sama pentingnya dengan menenun, yaitu mengurusi kandang sapi, ayam dan sawah mereka.
Saban pagi, karyawan perempuan memasak secara bergiliran. Mereka berbelanja dan memasak untuk sarapan pagi bersama. “Memang begitu kebiasaan kami setiap hari,” kata Pargiatin. Kebiasaan lain di koperai ini adalah berdoa bersama saat pagi dan siang menjelang pulang, plus doa Malaikat setiap pukul 12.00.
Sistem pengupahan di koperasi ini tidak berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR), namun borongan. Rata-rata, dalam sebulan setiap karyawan mampu mengerjakan gulungan kain sepanjang 100 meter. Hitungannya, mereka mendapat upah Rp 1000 per meter, yaitu Rp 100 ribu. Kemudian ada tunjangan masa kerja yang berbeda-beda. Mereka yang masa kerjanya mencapai 20 tahun, mendapat tunjangan Rp 60 ribu. Sedangkan yang mencapai 10 tahun, Rp 30 ribu.
Taruh kata, seorang karyawan dengan masa kerja mencapai 20 tahun, maka ia akan mendapatkan gaji pokok Rp 160 ribu. Tunjangan lain yang didapatkan adalah tunjangan istri sebesar 30% dan tunjangan (hingga) 3 anak masing-masing 15% dari gaji pokok tersebut. Masih ada lagi, yaitu tunjangan beras yang diterimakan dengan uang sesuai harga beras pada masa itu. tunjangan beras bagi karyawan ini sebesar 10 kg, plus beras istri 6 kg dan beras (hingga) 3 anak masing-masing 3 kg.
“Kami hanya ingin nguri-uri atau melestarikan tenunan khas Boro,” tegas Pargiatin. Itu sebabnya, berapapun penghasilannya, para pekerja di koperasi ini tetap keukeuh mengayuh mesin tenun tradisional ini menjadi lembaran kain, handuk, kain pel, serbet maupun selimut. Beruntung, masih banyak generasi muda dibawah Pargiatin yang ikut menggenjot mesin ini.
“Jglok … jglok … jglok … “
2007-03-15 » Femi Adi