Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

setahun, dan tanpa ayah

Friday 18 May 2007 - Filed under cerita bumijo

Maut telah merenggut hidupnya. Ia tidak bernapas lagi, seakan semuanya hilang lenyap.Tapi kami sadar bahwa Engkau sungguh baik hati dan bijaksana. Kasih setiaMu tak ada habisnya. Syukur atas keselamatan dan kemenangan (Wahyu 11: 13)

Sudah setahun, ayah. Iya, sudah setahun.

Nggak terasa ya, begitu cepat setahun berlalu. Rabu yang menegangkan itu sudah lewat, persis pada 31 Mei 2006 lalu saat siangnya ibu sudah menjemput ayah. Esti datang untuk mengantarkan ayah, kemudian kembali ke US. Sementara si bungsu terus bekerja di Jakarta.

Perjalanan setahun juga belum berhenti, 52 minggu terus pulang dengan kereta Bengawan. Menjadi setia itu tidak mudah. Menata kerikil yang bergelimpangan diluar kotak semen rumah ayah. Menyingkirkan daun bambu cokelat yang kian mengering. membasuh palang kayu milik ayah. Meletakkan bunga Crysant sebagai peninggal jejak.

Semuanya untuk ayah, dan juga ibu.

Beberapa orang mencemooh, menuding dinasti keluarga Soempeno sudah usai. Belum, belum. Perjalanan ini masih begitu panjang. Beberapa orangmengerenyitkan dahi untuk kepulangan setiap minggu. “Ngapain pulang ke Jogja, kan di rumah nggak ada siapa-siapa?” Uwh, sebuah pertanyaan mendebarkan yang sering mampir ke telinga.

Si bungsu tahu, ini hanya riak kecil sepeninggal ayah.

Lebaran pertama tanpa ayah yang sepi. Natal pertama tanpa ayah yang sepi. Tahun baru pertama tanpa ayah yang sepi. Ada yang bisa menggantikannya? Tidak. Hanya ayah yang lahap mengunyah ketupat bikinan ibu. Hanya ibu yang menyiapkan roti-roti natal yang enak. Hanya Esti yang selalu ceria di rumah.

Rasanya seperti … ingin ikut ayah.

Dua perempuan muda penerus keluaerga Soempeno mencari jalan hidup. Bukan, bukan mencari kesempurnaan. Hanya mencari jalan terang sepeninggal dua orang tua tercinta. Bekalnya: kemandirian didikan keluarga Soempeno.

Tagged: » » » » »

2007-05-18  »  femi adi soempeno

Talkback x 2

  1. Kunto
    24 May 2007 @ 12:18 pm

    Di Jodog, Gilangharjo, Pandak Bantul, ada cara unik untuk mengantar jenazah ke peristirahatan terakhirnya. Keranda jenazah itu dikerukupi dengan kain hijau tebal berbordirkan tulisan Arab. Di bawahnya tertera pesan menggelitik: saiki aku, sesuk kowe. Ya, sekarang aku, besok kamu.

    Fem, Bapak dan Ibu sudah beristirahat dalam damai bersama Yesus yang mereka imani. Kita, yang sedang mengelana ini, pada dasarnya juga sedang meretas jalan menuju kedamaian abadi itu. Bersyukurlah, Bapak dan Ibu dan lebih dulu sampai. Teruslah melangkah, saudaraku. Teruslah mencatat. Biarlah kelak cipratan-cipratan pena ini tertinggal manis untuk mereka-mereka yang juga sedang mencari di belakangmu.

  2. munggur
    30 May 2007 @ 1:06 am

    Dinasti Soempeno tidak akan berakhir. bukankah ketika ayah dan ibu bersatu (baca: prokreasi) mereka menghasilkan dua anak perempuan yang tegar. mereka tetap hidup abadi melalui kalian…

    itu berarti kedua putri Soempeno haruslah juga ber-prokreasi sehingga ada cucu dan lalu cicit. dan anama Soempeno tetap abadi.

    maaf, bila saya termasuk yang ‘bertanya’ sesuatu yang tak pantas ‘ditanyakan’. sungguh.

    justru saya terharu dengan kesetiaan untuk pulang sebagai bentuk cinta. saya belajar sesuatu…

    tiap kali pulang ke kota Gudeg, tolong sampaikan pada tanah Yogya akan kerinduanku padanya…