bir, dan (kembali) duduk bersama
Thursday 13 November 2008 - Filed under friends from heaven + kubikel + media
sudah lebih dari setahun bibir ini kaku.
yah, sekaku hati saya. beku. frozen. duh, apa lagi ya kata yang bisa menegaskan rasa yang sangat menyebalkan ini? meski tak ingin memiliki perasaan ini, nyatanya saya tak bisa menghindarinya untuk punya perasaan ini. ah.
sudah lebih dari setahun, komunikasi kami memburuk. yah, bilang saja, angin-anginan. percakapan kami sebentar hilang, sebentar hangat. itu juga bukan komunikasi verbal, melainkan lewat surat elektronik. padahal, dulu tidak begini. padahal, dulu kami sering menghabiskan senja dari pinggiran pelataran plasa senayan. keterlaluan ya?
ah, tapi saya enggan membahasnya lagi. saya enggan membincangkan kekesalan yang meruyak malam itu. sudah. sudah.
saat ini kami duduk berhadapan, dengan segala kekakuan yang melekat pada kami. dua mangkok bakwan malang yang berada di depan kami, ludes begitu saja dengan perbincangan yang tertahan berbulan-bulan. sesekali saya melihat padanya, meski tak sepenuhnya saya bisa.
aih. kenapa relasi pertemanan bisa menjadi serepot ini ya.
dan kami melanjutkan perbincangan kami di bugils, taman ria, senayan. satu pitcher bir bintang membuka perbincangan kami, dengan french fries dan kacang garing. ia pun membeberkan sederet cerita liburannya di bali, sembari sesekali menyelipkan, “yang dulu biasa kita duduk-duduk di pinggir pantai …” atau sejenisnya. shoot. mengapa mesti memanggil memori itu.
juga cerita tentang keluarga, sekolah, pekerjaan, investasi, perempuan. ada beberapa yang belum berbeda dengannya, meski ada juga yang sudah tak lagi sama.
di pitcher ketiga, mata saya sudah kabur. tawa, sesekali otomatis membahak tanpa diperintah. tapi cerita terus bergulir.
yah, yah, yah. saya sendiri tak bisa mengurai apa yang saya rasakan saat duduk bersama kembali dengan sahabat saya itu. ya, saya bilang “kembali” karena memang lama tak duduk bersama dengannya. lama tak memuntahkan gosip dan mimpi yang ada dalam kehidupan kami.
yang jelas, rasa “mak nyes” itu muncul saat kami mendentingkan gelas bir. padanya saya bilang, “happy b’day … ” eh, dia malah bilang, “welcome back, sist …”
saya tak tahu, apa yang akan saya perbuat padanya besok pagi. mungkin masih akan tetap mendiamkannya. tapi mungkin juga tidak.
“gue kangen sama lo …” kata saya di ujung pembicaraan. dan dia berujar, “iya, gue juga. gue kan udah meminta-minta maaf sama lo …”
ah. sudahlah.
courtesy image: bloomberg
2008-11-13 » Femi Adi