sepuluh tahun mengenalnya, dan cukup
Tuesday 21 April 2009 - Filed under friends from heaven
saya mengenalnya sepuluh tahun belakangan.
ya, sepuluh tahun. lama ya? sayangnya itu tak bisa membuat saya mengenalnya sepenuh hati. mengenalnya sepenuh-penuhnya tentangnya. saya hanya mengenalnya dari anggukan untuk melajukan roda dua di jejalanan jogja. dari senyum hangat dan rasa terimakasih untuk secangkir teh manis di pagi hari. dari lembaran rupiah yang ditukarkan dengan dua buah tiket film di TIM atau Jakarta Theatre. dari cuilan tahu yang kami cecap di pinggiran Harmoni.
sungguhpun, saya tak pernah bisa menyentuh hatinya. meyakinkan diri bahwa ia adalah ia. dan kepercayaan itu tak pernah terbentuk.
“menikah yuk!” ajaknya.
seperti main-main. seperti mengajak berbelanja sayur-mayur di pasar kranggan. seperti hendak piknik menghabiskan ujung minggu. seperti obrolan di ujung sabtu yang hanya basa-basi. iya, seperti main-main. seperti tidak serius.
baginya, menikah adalah urusan pelukan yang hangat saat malam sudah merapat. menikah adalah mengantar pagi hari ke kantor, dan menjemput sore hari. menikah adalah memiliki empat anak dan membesarkannya. menikah adalah sebuah umbaran janji, “aku jamin kamu bahagia.”
tapi tidak demikian buat saya.
menikah dengannya adalah menghapuskan rekaman hitam atas apa yang ia lakukan pada saya kemarin.
di sebuah senja, saya harus bergegas pulang dan menyiapkan makanan untuk ayah di rumah. “kok buru-buru pulang? nanti saja. kan ayah bisa makan sendiri dirumah. ayah kan bukan anak kecil lagi.”
atau, peristiwa lain.
sore yang pedih, kami duduk berempat, merundingkan perasaan, dan mencoba berkompromi dengan situasi. ya, saya tak pernah bisa melupakan sore itu. saat perempuan itu berkata sambil meliriknya, “gue cinta sama dia … “
atau, peristiwa lain lagi.
temu janji dibikin untuk menonton film. di ujung waktu, sebuah pesan pendek masuk dan menjelaskan kalau agenda itu harus dibatalkan karena ia baru masuk rumah untuk istirahat. lelah. tapi beberapa hari kemudian, dalam sebuah perbincangan, “tempo hari aku kan masih liputan …”
saya menumpuk lelah. saya menumpuk amarah. saya menumpuk rasa kesal.
ya, saya enggan berjibaku lagi dengan segala omong besarnya. untuk kehidupan yang menyenangkan paska menikah dengannya. pun saya tak bisa menjamin akan menyenangkan hidup dengannya. dan, kali ini saya tengah tak ingin berpetualang dan ‘mencoba-coba’ hidup dengannya. ini bukan sebuah percobaan atau acara main-main. ini adalah tentang kehidupan.
sepuluh tahun mengenalnya, dan cukup.
mengiyakan tawaran pernikahan dengannya, sepertinya itu adalah judi besar dalam kehidupan saya.
2009-04-21 » Femi Adi
20 August 2009 @ 11:13 am
i know him for sure..