digendong dan didulang
Wednesday 28 October 2009 - Filed under cerita bumijo
Saya bersyukur memiliki saudara hanya satu, esti.
Berkaca pada keluarga besar ibu, saya sering ngeri membayangkan memiliki keluarga besar. Banyak anak banyak rejeki; tapi pasti banyak masalah dan banyak iri-dengki juga. Tidak, tidak. Saya tak ingin mencuil keriangan hidup untuk hal-hal demikian.
Dan salah satunya adalah kisah tentang ‘digendong dan didulang’.
Tentang om saya. Tentang kesombongan kecil.
Suatu hari kerabat saya ada yang menggelar hajatan di Jakarta. Keluarga besarnya tak hanya membagikan undangan pada sejumlah keluarga besar kami, tetapi juga ongkos perjalanan yang layak untuk berkereta ke Jakarta hingga pulang kembali ke jogja.
Nah, om narto, adik ibu saya, mendadak mengundang likban –nenek saya– dan juga keluarga om yanto –yang juga adik ibu– untuk turut serta dalam kendaraannya untuk ke jakarta. Mereka pun berangkat bersama. Tanpa hitungan apapun. Tanpa pembayaran apapun. Riang, mereka menggelinding ke ibukota.
Likban mengusung sejumlah makanan untuk seisi kendaraan. Begitu juga om yanto. Dalam perjalanan, om narto mengarahkan kendaraannya ke warung makan. Mengisi energi. Membangkitkan gelak. Merebahkan letih.
Dan hal yang sama juga terjadi pada saat perjalanan kenbali ke jogja.
“Lha likban dan mas yanto kalau enggak aku gendong dan enggak aku dulang, nggak bakal pergi ke jakarta …” Katanya, saat ditanya oleh kerabat kami setiba di Jogja.
Whoops. Menyedihkan. Rupiah membalikkan lidah dengan begitu cepatnya; menjadi sebuah kesombongan kecil, keangkuhan mini. Likban tak minta digendong dan di dulang untuk sampai ke jakarta. Penawaran itu datang darinya. Dan kesombongan-keangkuhan mengaburkannya.
Digendong dan didulang.
Saya geli mendengarnya. Bener! Istilah lucu, sekaligus tidak fair.
2009-10-28 » Femi Adi