Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

sudomo membaca rendra

Friday 30 October 2009 - Filed under asupan gizi + friends from heaven + isu indonesia

mulut dan kuping menyambung.

ada ajakan kecil untuk menutrisi jiwa dengan membaca rendra. ya, indonesia membaca rendra. menguping cerita yang membekas di memori tentang mas willy. tentang si burung merak. tentang sajak-sajak yang mencekik pemerintah di jamannya.

kemarin dan esok // adalah hari ini // bencana dan keberuntungan // sama saja // langit di luar langit di badan // bersatu dalam jiwa //

saya duduk di ujung pinggir kanan. menyaksikan rendra yang tinggal dalam setiap benak. sys ns. adi kurdi. clara sinta. ray sahetapy. sudomo. yockie suro prayogo.

lebih dari gelegak tokoh hiburan yang menyedot perhatian di panggung DKJ, sudomo layak diacungi jempol. Jiwa besarnya. Kelegaannya berdiri diatas panggung. Pengakuannya. Dan juga, nerimo untuk ‘didudukkan di kursi beludru merah-ungu khas kursi empuk pejabat. –bandingkan dengan papan yang ditindih tubuh clara sinta dan adi kurdi; hanya papan. Ya, pak domo berdiri disana. lelaki berambut putih berusia 83 tahun itu pernah menahan rendra di rutan militer Jalan Guntur usai pembacaan salah satu karyanya di Taman Ismail Marzuki. Dan sudomo berdiri untuk rendra.

Sudomo berbesar hati. Mengakui kehebatan willy. Tanpa amarah, tanpa kecamuk. Sudomo berbesar hati. Menegaskan, Indonesia kehilangan satu putera terbaiknya.

Dan gelak pun muncul. ‘Musuh’ willly mengakui diri sebagai penanggung jawab penangkapan willy; mesti menampik menjadi orang yang menangkap langsung si burung merak.

“Life begin at 40 and 80. Saya 83 tahun, dan saatnya melakukan PMA atau penanaman modal akhirat. Saya minta maaf untuk semuanya …” Kata sudomo; tetap dengan berdiri dengan tegak.

Dan tepuk tangan meriuh menggudang untuknya. Ya, kali ini Sudomo membaca Rendra. Dengan kebesaran hatinya.

2009-10-30  »  Femi Adi