duri dalam sejarah
Saturday 21 May 2011 - Filed under cerita bumijo
“aku mau nangis … owh. aku mau nangis …” katanya, mulai mengisak.
saya berjalan mengiringinya, usai pertemuan dengan sejumlah kerabat. tak ada raut gembira di wajahnya. yang ada hanyalah kebingungan, kecemasan, dan juga sedikit rasa marah.
ada penolakan yang begitu nyata untuk menjadi wali orang tua dalam perhelatan pernikahannya dalam waktu dekat. alasannya sederhana saja saja, yaitu mereka belum menikahkan anak-anak mereka, sehingga pamali untuk menjadi wali orang tua untuk pernikahan kerabat yang lain; konon, anak-anaknya akan terlambat menikah kelak bila mereka menjadi wali untuk pernikahan kerabat.
‘pamali’, mendadak menjadi sebuah kata yang sangat berbahaya di kepala saya. rupanya, keluarganya mewarisi tradisi pamali tersebut.
tapi, barangkali ini bukan soal pamali. lebih dari itu, ini menyoal rahasia keluarga yang tersimpan dengan rapi selama puluhan tahun, yang kemudian tidak bisa dengan mudahnya lidah itu memuntahkan kejujuran.
silang-sengkarut G30 S/1965, nyatanya masih membeban hingga saat ini. ada duri tipis yang meninggalkan jejak luka pada sebuah keluarga.
keluarga saya.
saya sangat bisa memahaminya. ini adalah konsekuensi logis yang otomatis-akan-melekat-pada-diri-kami-seumur-hidup-kami. dan hidup menjadi tidak mudah.
rekonsiliasi, reformasi, demokrasi, pada akhirnya tidak bisa mengantarkan sebuah kejujuran.
ini luka keluarga. ini luka politik. ini luka sejarah.
barangkali mereka enggan direpotkan untuk menjawab pertanyaan: ” … sebenarnya, apa hubungan kita dengan dia, sehingga kalian mau menjadi wali orang tua untuk pernikahan mereka?”
andai ayah dan ibu masih ada.
2011-05-21 » Femi Adi