mbuntut di cut meutia
Wednesday 8 June 2011 - Filed under cerita cidodol residence + friends from heaven + kuliner
lama sekali saya engga mlantrang ke kawasan masjid cut meutia, jakarta pusat.
Seberang pinggir masjid itu, ada jalan kecil berjudul “jalan menteng kecil” …
Eh, atau “jalan menteng dalam kecil” …. Pokoknya itulah, satu-satunya jalan
supermini yang tembusannya entah-ke-mana.
Begitu belok ke jalan kecil itu, menderet warung permanen. Salah satu
diantaranya, yang cukup kondang djaja, adalah “sop buntut cut mutia”. Sop
buntut goreng atau biasa, sama enaknya. Seporsi 30 ribu, dan dijamin pulang dengan hati bahagia.
Siang tadi saya pesan sop buntut goreng untuk aku makan sebagai sarapan,
sekaligus makan siang. Lutut ini sudah gemetar, karena habis marah-marah dengan kurir yang salah kirim barang; padahal tenggorokan ini rasanya sakit banget buat omong, apalagi buat teriak2 marah-marah. Mendadak, tenggorokan ini luwes saja teriak-teriak. Tapi buntutnya, lututku gemetar sesudahnya. Ada rasa marah, sebel, dan juga … Lapar.
Sop buntut goreng datang dengan nasi yang ditakar sangat mungil. Sumpah dah, mungil gila pokoknya! Cawan kuah sop terpisah dengan dua iris buntut goreng ekstra besar. Meski goreng, daging buntut ini tidak manja dengan tulang buntutnya. Jadinya, mudah sekali terlepas.
Sial. Giliran buntutnya besar, knapa nasinya mungil!
Tapi ya sudah lah. Toh kebahagiaan itu juga muncul sesaat setelah sesendok nasi (diusahakan cidukannya sekecil mungkin, agar terkesan telap-telep makannya) dan sruputan kuah serta cuilan buntut goreng itu menggudang di lidah. Nyam.
Dan mendadak, secepat kilat, piring ini kosong, dengan menyisakan kuah di cawan dan irisan buntut goreng yang masih ngawe-awe. Sial.
Tapi, masa mau nambah lagi sih. Di depan saya duduk mas-mas ganteng, pake kacamata … Mengesankan dia ini sungguh jinak sekaligus cerdas. Lihat barang bagus bgini, masa sih mau nambah lagi. Kalo saya makan dengan zus indah, ato sama kibow, pasti engga jaim buat teriak “nasinya, nambah tiga lagi donk!” Tiga porsi nasi itu, terang saja untuk femi, untuk femi adi, dan untuk fransisca femi adi.
Dan saya perhatikan masnya ga nambah nasi. Jadilah saya teriak, “pak, minta
diitungin ya!”
2011-06-08 » Femi Adi