Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

Terlanjur Basah, Ya Sudah Gowes Sekalian…

Sunday 9 October 2011 - Filed under friends from heaven + kegemaran + pit-pitan + plesiran

FunBike RC3 di Tangkuban Perahu seri kedua

Hujan deras masih mengguyur kota Bandung sore itu (Sabtu, 7/10). Udara dingin terasa menusuk kulit, sementara kabut mulai turun. Mungkin sebagian besar orang memilih tinggal di dalam rumah, membungkus rapat dirinya dengan jaket atau sweater untuk mengusir hawa dingin, sambil minum teh hangat atau menonton teve.

Tapi tidak buat kami, RC3’ers (anggota Rajawali Cycling Community). Sore itu, kami menembus kota Bandung bermodal sepeda MTB plus sisa tenaga, menempuh perjalanan tak kurang dari 18 km –menurut Paman GoogleMaps–  dari Punclut di Bandung Utara, menuju perumahan Batununggal, di daerah Buah Batu, Bandung Selatan. Namun cuaca berkabut dalam terjangan hujan justru menjadikan suasana kota Bandung begitu syahdu sekaligus mistis. Sungguh kesempatan yang takkan terulang, gowes di Bandung dalam hujan menghabiskan sisa tenaga setelah seharian gowes di Tangkuban Perahu.

Hari itu, RC3 memang sedang punya hajat penting. Salah seorang anggota BOD, Darjoto Setyawan ikut dalam acara gowes offroad menempuh rute Tangkuban Perahu- hutan Jayagiri – Lembang dan finish di Punclut. Bukan cuma anggota BOD, CEO business unit Bukit Asam Transpacific Railway (BATR) Rudiantara juga turut serta. Jadilah gowes kali ini menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan komunitas pesepeda RC.

Memori hutan pinus

Gowes melintasi kota Bandung sebenernya cuma partai pamungkas. Setelah malam hari sebelumnya kami harus berjibaku melawan kemacetan Jakarta pada hari Jumat sore. Berangkat dari kantor jam 7 malam sehabis kerja seharian, kami baru tiba di Batununggal lewat tengah malam. Untungnya, perut sudah diganjal nasi padang Sederhana di rest area km.57 tol Cipularang. Tanpa banyak membuang waktu, malam itu kami cepat-cepat naik ke peraduan untuk menyimpan tenaga.

Sabtu pagi jam 5.00, beberapa teman sudah bangun untuk sholat subuh. Keruan yang lain ikut bangun tak lama kemudian. Setelah membersihkan diri, kami mulai menurunkan sepeda dari mobil, merangkai dan melakukan setting. Pagi itu kami cukup cemas karena matahari sedikit tertutup awan dan bahkan sempat gerimis sebentar. Jam 6.30, saat setting tengah dilakukan, datanglah sarapan yang tak mungkin kami tolak, sate sapi, sate ayam dan sate susu plus lontong. Kami tahu, perut harus diisi sebelum aktifitas fisik yang akan kami lakukan sepanjang pagi hingga siang itu.

Jam 7.30; 11 sepeda sudah siap di atas mobil bak terbuka L300.  Pendekar pemetik bunga – Jai hwa cat / JHC (Fahizal), Pendekar muda –PM (Miko), PFu (Rufus) dan PJS (Indra Jaya) memilih naik di mobil bak terbuka bersama sepeda, sementara tiga orang srikandi, PCS (Darjoto), Pendekar Atlet Punclut / PAP (Hendi)  dan PLC (Chris) diantar dua mobil lainnya. Kami sudah janjian dengan HHM (Heru Prijono) dan PKB (Rudiantara) bertemu di parkiran taman wisata Tangkuban Perahu jam 8.30.

Jarak Batununggal-Tangkuban Perahu ternyata tidak dekat. Di tengah jalan, kami melewati beberapa rombongan penggemar jalur nanjak alias uphiller. Bahkan, salah satu rombongan beranggotakan kakek-kakek karena rambut dan kumis para goweser tersebut sudah putih semua. “Gilaaaa….,” cuma itu yang bisa terucap dari mulut kami sebagai ungkapan decak kagum atas semangat dan nafas yang keluar-masuk dari setiap tarikan otot betis yang mereka lakukan.

Jam 8.40 akhirnya kami tiba di parkiran taman wisata Tangkuban Perahu. HHM, PKB dan rombongan marshall sudah menunggu. Tanpa ba-bi-bu, kami segera menurunkan sepeda, memakai perlengkapan dan men-test sepeda masing-masing. Ada sedikit masalah, beberapa sepeda lupa diberi pelumas dan terpaksa menggunakan pelumas darurat, membeli minyak goreng dari warung di sekitar parkiran.

Briefing dan Doa adalah agenda rutin berikutnya. Setelah itu, kami rombongan ber-15 segera meluncur melewati jalan aspal yang sudah rusak, melewati portal masuk ke arah hutan jayagiri. Sebelum sampai di ujung jalan aspal yang rusak, kami berpapasan dengan beberapa down hiller karena di situ juga terletak trek mini down hill untuk mereka yang gemar meloncat-loncat bersama sepeda dengan fork minimal 180 mm.

Jam 9.30, kami sampai di tepi hutan pinus. Di situ ada spot yang ciamik untuk melepas hobi narsis karena memiliki background pemandangan hutan pinus berbukit-bukit. Kami pun tak ingin ketinggalan. “Foto keluarga…foto keluarga….,” demikian teriak marshall memberi komando agar semua rombongan berhenti sejenak dan berfoto bersama-sama. Foto seluruh rombongan ini penting karena setelah memasuki trek, biasanya kami tercecer, tercerai berai menurut kekuatan fisik dan nafas masing-masing. Selain dengan kamera, beberapa teman tak lupa minta difoto dengan blackberry nya agar bisa langsung mengubah profil picture ataupun memposting perjalanan ini di grup bbm.

Dan perjalanan yang sesungguhnya pun dimulai. Trek awal memasuki hutan pinus harus kami tempuh melewati single trek yang telah rusak akibat sering dilewati oleh motorcross. Akibatnya tanah di tengah menjadi lebih dalam dan pedal sulit dikayuh. “Gimana caranya? Ngga bisa digowes neh sepedanya,” begitu celoteh Darjoto di tengah etape pertama ini. Kami pun bingung memberi resep. Beruntung PFu tak lama kemudian memberi jawaban cerdas, “Ini cuma part of the game, Pak.”

Etape pertama akhirnya kami lewati. Keringat mulai mengucur. Bahkan sebagian perserta harus mengeluarkan tekhnik tertinggi yang dimiliki, menuntun sepedanya untuk dapat melewati satu-dua tanjakan curam. Etape berikutnya adalah melewati hutan pinus Jayagiri dengan satu-dua drop off menantang karena harus melewati akar-akar pinus yang menonjol nan licin.

Di awal etape kedua ini, kami justru bersyukur karena gerimis membasahi tanah sehingga debu tak mengganggu. Beberapa teman mulai berteriak di tengah hutan, melepas keasyikannya menikmati suasana hutan pinus Jayagiri yang berpemandangan indah. Sementara, beberapa lainnya, mulai menghitung sisa nafas dan otot paha, berapa lama lagi mereka mampu bertahan agar tidak mengalami kram. “Butuh waktu satu tahun buat kita melewati drop off hutan Jayagiri,” kata PJS. Ya, waktu kami pertama kali mengunjungi trek Tangkuban Perahu bulan Juli 2010, lebih setahun yang lalu, banyak dari kami yang masih menuntun sepeda karena nyali dan kemahiran mengendalikan sepeda masih belum cukup.

Naik-turun di jalan beraspal

Di tengah keasyikan menikmati single trek dan drop off kecil-kecil, hujan gerimis yang sudah reda berganti dengan hujan deras. Kami mulai khawatir. Jas hujan seadanya yang dibeli dengan harga Rp 6.000 dikeluarkan. Cuma beberapa yang siap dengan jas hujan khusus untuk sepeda. Namun kecemasan kami bukan soal basah akibat hujan, namun trek yang menjadi licin akibat basah.

Dan benar saja. Menjelang akhir etape kedua, di sebuah turunan lebar yang sebenarnya sangat mudah dan tidak berbahaya, PCS terjatuh. Sebabnya, tak lain karena tanah yang basah sehingga roda belakang meleset saat rem ditarik. Bukan jatuh yang keras akibat kehilangan control, “Tapi saya jatuh terakhir tahun 1969. Setelah 42 tahun jatuh lagi dari sepeda, ya lumayan,” ungkap Darjoto. Kami memang sangat was-was. Sebab gowes kali ini adalah gowes perdana off road buat Pak Darjoto. Bila sukses, kami yakin makin banyak trek yang akan dijajal. Sebaliknya bila gagal, kami tidak tahu harus bagaimana agar semangatnya tidak patah.

Evakuasi pun dilakukan. Setelah berjalan 500 meter, kami berhenti di warung kecil di tengah hutan Jayagiri. Warung The Iis namanya, merujuk pada nama si empunya warung. Di situ kami makan gorengan dan minum teh panas hangat sepuasnya. Walau di warung kecil, rasa teh panasnya sungguh mengalahkan rasa earl grey di hotel berbintang lima. Apalagi saat harus membayar. Cuma Rp 57.000 untuk kami ber-15 makan dan minum.

Setelah PCS diangkut dengan mobil dan langsung menuju finish di Punclut, kami melanjutkan gowes. Kewaspadaan dan kehati-hatian jauh berkurang karena etape terakhir adalah jalan aspal dari Lembang ke Punclut. Tapi bukan berarti kami bersantai. Sebab, jalan yang harus kami tempuh adalah jalan beraspal dengan tanjakan dan turunan yang curam dan panjang. Mobil evakuasi sempat dipanggil untuk menjemput srikandi, tapi semangat yang menyala tak menyurutkan para srikandi untuk meneruskan perjalanan, kendati harus menuntun sepeda di tanjakan.

Dan akhirnya sekitar jam 14.00 kami tiba di rumah PCS di punclut. Rumah Djoglo dengan hamparan pemandangan kota Bandung. Sungguh indah. Kami pun bercanda-ria melepas kelelahan. Sebagian mengganti pakaian yang basah dengan pakaian kering. Dan semakin lengkaplah kenikmatan hari itu ketika kami disodori nasi timbel lengkap dengan tahu-tempe dan ayam goring plus tambahan lauk mulai dari iga bakar, gurame hingga semur jengkol.

Dan saat semuanya selesai, kami punya masalah. Mobil untuk mengangkut orang dan sepeda ternyata tidak cukup. Sebab satu mobil harus tinggal di rumah Punclut menunggu PCS diurut. Dan jadilah, sebagian pendekar kembali hujan-hujanan dari Bandung Utara ke Bandung Selatan. Terlanjur basah, ya sudah gowes saja sekalian sebagai gowes pamungkas. Dan kami bukan mengumpat, tapi justru bersyukur tiada tara beroleh kesempatan menikmati kota Bandung di sore hari dalam siraman air hujan. Sungguh suatu berkah kami boleh sehat dan menikmati kebersamaan menunggangi kereta angin.

Sampai ketemu di trip berikutnya yang pasti akan lebih seru….

Tagged: » » » »

2011-10-09  »  Femi Adi