140 vs 251
Monday 5 March 2012 - Filed under cerita bumijo + cerita cidodol residence
angka itu membuat sepasang kaki ini berhenti melangkah.
dua komparasi angka yang tak asing bagi saya, meski deretan angka itu terbilang baru bagi saya. 140 dan 251.
saya ingat betul bagaimana dulu saya ‘gembira’ mengantarkan ibu ke panti rapih. cek urine dan darah pagi sebelum makan pagi, lalu ibu akan mengajak saya makan di kantin rumah sakit dengan menu makanan pilihan yang saya boleh memilih apapun yang ada disana, lalu menunggu untuk ambil urine kembali dua jam setelah makan. saya tak pernah menggerutu menemani ibu berlama-lama di rumah sakit. sederhana saja, karena saya tak mengerti apa penyakit ibu yang sesungguhnya, yang itu memengaruhi lifestyle seumur hidupnya.
ibu sakit diabetes.
perlahan, saya mengerti mengapa ibu tidak selalu ikut makan bersama kami; ayah, esti dan saya. kadang, ibu hanya makan sesendok nasi putih, dengan lauk dalam porsi wajar. sayur bayam, sayur kesukaan saya, tak pernah dimasaknya dengan gula. selalu hanya brambang-salam saja bumbunya. ibu tak pernah minum manis, selalu tawar. waktu itu, ibu hanya sesekali saja membeli tropicana-slim, atau semacamnya. duitnya lebih banyak digunakan untuk mengongkosi sekolah dua anaknya.
pil putih kecil, berbentuk tablet.
saya selalu ingat obat ibu itu. ibu sering meletakkan obat-obatnya di wadah plastik persegi, di atas lemari. kadang diletakkannya obat itu di dalam lemari di kamarnya. harga obat itu tak murah, sementara ibu harus mengasupnya seumur hidupnya. strategi yang dilakukan ibu adalah mengkonsumsinya separo dari dosis yang diberikan, supaya lebih awet, supaya tahan lebih lama hingga jatah waktu membeli obat kembali.
140 dan 251. itu angka yang saya peroleh usai cek urine dan darah kali ini.
2012-03-05 » Femi Adi