membagi waris; membelah darah
Thursday 15 October 2009 - Filed under cerita bumijo + ragam cuatan
Saya tak pernah mengharapkan satu sen pun dari warisan keluarga. Keluarga ayah, keluarga ibu.
Dan selalu, muara dari warisan yang menggelitik itu bukan berasal dari saya. Hingga suatu hari likban, nenek saya, membeberkan hitungan om saya, bahwa bagi warisan tanah milik nenek hanya untuk 11 anak. Ya, ibu saya, tak lagi mendapat jatah cuilan tanah itu karena sudah meninggal. Saya tak bergeming. Sungguh, satu senpun tak bakal saya tagihkan padanya. Namun, likban marah besar atas hitungan itu.
Alhasil, kemarahan itu menciptakan hitungan lain. Akhirnya cuilan tanah dibagi 12 anak. Wow.
Dan saya mengikuti gelindingan permainan ini.
“Minggu depan pulang jogja? Kita bagi waris tanah nenek. Jangan lupa bawa akte C1, surat kematian ayah dan ibu, dan ktp,” pesan tante-tante saya.
Semangat kecil menggelegak. Datang dari keinginan sebuah keadilan kecil. Datang dari keinginan sebuah jejaring kekerabatan yang mengendur.
“Fem, enggak jadi bagi waris. Kisruh semua,” kata tante saya, dalam pesan pendeknya.
Saya tetap tak bergeming.
Saya bersyukur, dan sungguh bersyukur. Esti, kakak saya, dan saya bahkan tak pernah membincangkan soal irisan rumah dan patokan tanah. Begini saja. Rumah keluarga. Rumah kita semua.
2009-10-15 » Femi Adi