mesin ayak itu bernama waktu
Friday 9 February 2007 - Filed under friends from heaven + kubikel
“tergantung fe, dia itu matahari atau pelangi buat lo! kalau matahari, ya dia akan ada terus buat lo. mendung hanya sebentar. hujan juga cuma sesekali. tapi di indonesia, dia mendominasi cuaca disini. ingat musim kering kan? nah! mm … kalau pelangi, dia itu hanya menyuguhkan keindahan sebentar buatmu. selebihnya, hilang tak berbekas. baru bisa kamu jumpai lagi besok, itu pun kalau ada.”
“mungkin harus kamu pikir lagi, sebenernya apa kalian memang bersahabat? jangan-jangan hanya kamu yang menganggap dia sahabat kamu, sementara dia tidak begitu!”
“apa memang Dia kasih dia buat kamu? jangan-jangan memang hanya buat ampiran saja …”
“mungkin dia seperti gandum. tahu kenapa, fe? karena dia bisa dibentuk menjadi aneka rupa penganan. bisa menjadi gandum goreng. bisa membungkus pisang. bisa menjadi kue basah. bisa menjadi kue garing. bisa jadi rempeyek. dalam hitungan kurang dari semenit, si koki bisa membuat gandum menjadi apa saja kan? dan, bisa jadi, dialah koki itu! nah, kamu disulapnya jadi apa?”
“jangan-jangan, kamu memang nggak mengenalnya, fe?”
selama ini kami berbagi piring. sepiring buat berdua bertiga berempat. kami juga berbagi kasur. sekasur buat berdua bertiga. bibir botol ini tersentuh bibir-bibir kami. tiga empat lima bibir. kacang kulit garing juga ludes di tangan-tangan kami yang merakusi penganan. tujuan langkah kami juga selalu sama: mencacah sore, menyeruput kopi, mengukur kilometer jalan, meriung di koridor samping. hari menjadi tidak utuh bila jejalan agenda yang tak penting itu tak menyesaki kami.
kami juga mencuilkan kisah-kisah hidup kami. tentang banyak hal. sesekali, tentang perempuan yang tak sengaja terangkut ke rumah sewa. atau, laki-laki muda yang mampir ke kosan yang memulasi episode biru. ada juga nukilan cerita soal keuangan yang morat-marit. kalau tidak, soal atransi terjun bebas yang membuat badan menjadi semringet. muntahan-muntahan cerita itu ada di warung padang, ruas-ruas jalan, pinggir pantai, teras warung kopi, sembari melihat bola raksasa tenggelam.
saya tahu persis, tak mudah menghimpun orang-orang terdekat-terbaik yang kemudian terekam sebagai sahabat-saudara. sisanya: teman.
perekat itu adalah kebiasaan dan kepercayaan. selebihnya, tak ada. keduanya membuat pertemanan itu menjadi persahabatan dan persaudaraan. kalau tak ada keduanya, ya namanya hanya teman.
saya juga tahu persis, hidup mudah sekali berubah. dalam satu jentikan jari. dalam satu tepukan tangan. sekelebat membalikkan telapak tangan!
seperti hari ini, saat saya memancangkan bendera pertemanan, usai mencopot kibaran persahabatan dan persaudaraan. “kalian akan sama, ya, akan sama. dengan dia, dia, dia, dia … dengan dia, dia, dia, dia, dia, dia … tahu kenapa? karena waktu adalah mesin ayak-nya …” bisik saya dalam hati, pada diri saya sendiri.
orang menyebutnya: seleksi alam.
seperti pabrik kata-kata ini, tempat saya bekerja. yang tak bertahan, bisa hangus begitu saja. dan, begitu juga tetek-bengek yang bernama persahabatan-persaudaraan. dalam masa tertentu, tambang berlian itu menjadi gudang pasir.
dan cerita persahabatan kami langsung menguap dalam satu gonggongan anjing dan muntahan eagle pack dalam wadah biru.
2007-02-09 » Femi Adi
21 April 2007 @ 12:05 am
[...] teh di senayan city belakangan terasa lebih sehat ketimbang di kedai kopi itu. mmmh … ya, sejak saat itu, saya sudah tahu dimana saya harus berdiri, dan bagaimana saya harus menyikapi pertemanan ini. saat [...]
7 August 2007 @ 8:41 pm
[...] cinta. cerita patah hati. cerita mimpi. cerita penyesalan. cerita kebimbangan. cerita tentang mesin ayak yang bernama waktu. cerita tentang hal yang tak akan kembali [...]
12 August 2007 @ 7:43 am
[...] saja juga ingat peristiwa lain yang membuat saya luka. ah, nggak usah [...]
16 November 2008 @ 6:57 pm
[...] tapi saya enggan membahasnya lagi. saya enggan membincangkan kekesalan yang meruyak malam itu. sudah. [...]
1 January 2009 @ 3:59 pm
[...] juga mulai berjejalin kembali dengan teman lama yang sudah meremukkan senyum dan gairah bekerja saya di pabrik kata-kata ini. tak mudah memaafkan. [...]