RC3 Menjajal Eksotisme Gowes di Bali
Monday 21 November 2011 - Filed under friends from heaven + kegemaran + kuliner + pit-pitan
Bali bukan cuma pantai. Gunung, hutan, desa-desa adat dan area persawahan dengan SUBAK-nya menyimpan eksotisme tersendiri. Sungguh kenikmatan tersendiri menggowes sepeda di Bali. –Christiantoko
Akhirnya waktu yang kami tunggu-tunggu itu pun tiba. Jumat, 18 November 2011, satu persatu anggota Rajawali Corpora Cycling Community (RC3) yang ikut acara “RC3 Gowes Bali 2011” mulai berdatangan di Bandara Ngurah Rai, Bali. Patut diketahui, hajatan RC3 untuk gowes bareng di Bali kali ini sudah direncanakan sejak acara gowes Merapi bulan Juli silam. Seperti biasa, setiap kali acara gowes ke luar kota berakhir, kami langsung menentukan destinasi gowes berikutnya.
Namun karena acara kali ini hamper berbarengan dengan KTT Asean yang juga diadakan di Bali, jadwal penerbangan sedikit kacau. Beberapa peserta gowes pun terpaksa menanggung sial karena jadwal pesawatnya delay. Jadwal kedatangan dan keberangkatan di bandara yang kacau pun membuat bandara yang tengah direnovasi itu terasa makin sesak, penuh antrean panjang pengambilan bagasi maupun menunggu jemputan. Namun salah satu peserta gowes, yaitu Femi yang notabene adalah wartawan Bloomberg, sempat mengambil hikmah. “Aku sempat memotret Air Force One, pesawat kepresidenan Obama,” katanya.
Malam itu, sebagian besar peserta menginap di rumah Darjoto Setyawan, salah seorang Managing Director RC di daerah Tanjung Benoa. Sehari sebelumnya, truk pengangkut sepeda telah tiba dan sepeda sudah di setting oleh salah seorang panitia, yaitu Om Swastika. Selain mekanik professional, Om Swastika adalah authorized dealer sepeda titanium merek berlogo merah-putih, PITTS. Hingga pukul 24.00 WIT di mana kami memutuskan untuk beristirahat, masih ada dua dari 16 anggota RC3 yang belum tiba, yaitu Mia (PML) dan Nur Rachman (PDS).
H-1, Berbasah-Basah di Trek Berpasir
Jam 6 pagi, peserta sudah mulai bangun. Dari cerita teman-teman, dua orang yang datang terakhir baru tiba di rumah sekitar jam 1.30 dinihari. Walau demikian, tak ada waktu untuk bangun siang. Semua harus sudah siap sebelum jam 7.00 WIT karena waktu itulah yang kami tentukan untuk berangkat menuju Gn. Abang, di sekitar Danau Batur, daerah bagian atas Kintamani. Bermodal sarapan nasi kucing –nasi bungkus dengan lauk tempe orek, abon dan sambal—akhirnya kami berangkat 15 menit lebih lambat.
Jam 9.20 WIT kami tiba di tempat start. Beberapa orang tak sabar menurunkan sepeda dari truk dan mulai melakukan pemanasan bersama sepedanya. Sebagian lainnya sibuk memasang body protector, memkai sarung tangan, mengencangkan tali sepatu, meng-adjust ketinggian sadel hingga mencari tempat untuk buang air kecil. Satu hal yang pasti, kami sudah disuguhi pemandangan indah begitu turun dari mobil karena letak start yang berada di atas Danau Batur. Oleh sebab itu kami mahfum saat sebagian besar peserta langsung memulai sesi narsis alias foto-foto tanpa diberi komando.
Setelah briefing dan berdoa, etape pertama pun dimulai. Marshall sudah memberi tahu, tanjakan-tanjakan ringan akan mendominasi etape pertama. Oleh sebab itu, kendati diawali dengan jalan menurun, kami tidak mau terburu-buru. Dan benar saja, begitu selesai turunan pendek, kami disambut tanjakan. Karena tak mau menghabiskan tenaga di awal, kami pun menuntun sepeda bersama-sama untuk melibas tanjakan pertama. Setelah tanjakan pertama, rombongan masih segar dan segera melibas turunan yang cukup tajam. Beberapa senior RC3 masih rajin memberi instruksi teknis kepada beberapa newbie. Satu-dua orang masih terlihat ragu menghadapi turunan yang tajam, tapi berkat bimbingan yang baik, mereka bisa melewatinya tanpa hambatan berarti. Setelah melewati beberapa kali turunan tajam, peserta mulai menikmati gowes dengan rute Gn. Abang-Tangkub ini.
Satu per satu goweser mulai tune in dengan rute yang cenderung berpasir. Rombongan besar yang semula bergerak bersama, mulai terbagi dua. Rombongan pertama adalah mereka yang tak kuat menahan libido untuk menikmati turunan yang memicu adrenalin. Kami menyebutnya kelompok FSA (full speed ahead) Sementara rombongan kedua yang lebih besar, dapat dibagi menjadi empat, yaitu para instruktur yang rajin mendampingi newbie, para safety player, para newbie dan penganut aliran narsis.
Kami disodori pemandangan indah di rute H1 ini. Di sebelah kiri tampak Gn. Agung (3.142 mdpl) berdiri megah. Sementara di sebelah kanan adalah area hutan dan kebun di lereng Gn. Abang. Sayang, cuaca cerah saat start berubah dengan cepat menjadi mendung dan kemudian hujan deras sepanjang perjalanan. Walau demikian, toh banyak peserta yang merasa beruntung, dengan hujan yang turun cukup deras, track berpasir menjadi tidak licin dan stamina tidak terkuras.
Etape kedua, yang oleh para marshall disebut lorong naga merupakan jalan sempit berpasir di antara dua tebing. Keindahan alam Bali makin terasa ketika kam mendekati garis finish etape kedua. Terpampang batu-batu besar seukuran city car yang tampak menggantung di tebing. Sungguh keindahan yang hanya bisa kami rasakan dan nikmati dalam hati namun sulit untuk diceritkan. Apalagi kami tidak dapat mengabadikan pemandangan ini lantara hujan yang mengguyur semakin deras sehingga kami tidak berani mengeluarkan kamera. Pitstop etape kedua adalah warung kecil di pinggir jalan di mana kami menikmati teh panas yang terasa nikmat diminum di tengah hujan deras dan badan yang basah kuyub. Kenikmatan makin bertambah karena kami sempat menyantap durian Bali yang legit di warung kecil ini.
Gowes hari pertama akhirnya ditutup di sebuah restoran bernama “Lereng Agung” yang terletak di tebing, di mana di bawahnya terdapat sawah nan hijau dan berlatar belakang Gn. Agung. Setelah berganti pakaian, kami menyantap menu prasmanan nan sederhana namun terasa seperti makan di hotel bintang lima. Adapun malamnya, kami beramai-ramai makan seafood di Jimbaran.
H-2, Menjaga Keseimbangan di Pematang Sawah
Hari kedua diawali dari Ubud. Setelah berfoto-foto sebelum start, etape pertama adalah melewati singletrack area persawahan nan eksotis karena ada satu-dua galeri lukisan yang terletak di tengah sawah. Asal tahu saja, Julia Robert juga pernah singgah di salah satu galeri ini dalam filmnya yang kondang, Eat, Pray and Love.
Setelah melewati kelak-kelok sawah, kami menuju sebuah pura. Di sekitar pura, masih banyak penduduk –laki-perempuan—yang memanfaatkan sungai untuk mandi setiap hari. Bahkan, bukan hal yang aneh kalau penduduk di sekitar sini laki-perempuan mandi bersama di satu area. “Untung kita kesiangan sehingga ngga pengen mandi di sungai,” kata Heru Prijono (HHM) berkelakar.
Di sini kami sempat berfoto-foto dan melihat-lihat pemandangan di sekitar pura, lalu melanjutkan perjalanan melewati pinggir monkey forest. Tak lupa, beberapa peserta gowes sempat menyapa saudara tua yang banyak terlihat di atas pohon.
Keindahan desa adat Bali yang tertata dengan rapi menjadi pemandangan berikutnya. Area ini juga sempat menjadi bagian film Eat, Pray and Love. Celakanya, matahari yang semakin terik serta begitu banyaknya spot foto yang bagus membuat kami tak berlama-lama melewati desa adat ini. Apalagi, perjalanan masih jauh dan stamina mulai menurun.
Perjalan masih dilanjutkan dengan melewati singletrack pematang sawah yang panjang. Kendati bukan rute yang ekstrem, namun keseimbangan dan penguasaan sepeda diuji untuk dapat melewati rute ini dengan baik. Kami sempat mampir di warung kecil di tengah sawah sebelum menutup etape kedua di sebuah warung untuk memborong minuman dan makanan kecil. Warung Wardani di Denpasar adalah pilihan kami menyantap makan siang di hari kedua.. Nyaris tak ada yang tersisa di piring karena kami makan bak orang kelaparan..
2011-11-21 » Femi Adi