Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

harga mainan othok-othok itu Rp 2,000

Saturday 10 December 2011 - Filed under isu indonesia + kubikel

saya melihatnya. lelaki sepuh berperawakan kecil, mengenakan baju putih dan celana putih yang tak lagi bersih, dengan topi yang melindungi kepalanya, berwarna cokelat muda.  ia menyeka keringat yang menempel di dahi dan sebagian wajahnya. di bahunya, sebilah bambu panjang mengangkut agar-agar dan mainan othok-othok berwarna kuning-merah-hijau.

untuk menarik perhatian, ia sesekali mengibaskan tangannya, membunyikan mainan othok-othok itu.

“kalau mau ke setia budi, arahnya ke mana ya?” tanyanya pada saya. saya menunjuk jalan seberang, persis ke arah yang akan saya tuju. dia bilang, dia berjalan kaki menjajakan dagangannya dari pulo gadung.

kami berjalan beriringan. menyeberangi jembatan penyeberangan yang tak jauh dari gedung KPK.  padanya saya bertanya berapa harga mainan othok-othok itu.

“2,000 rupiah,” katanya.

hati saya habis.  harga mainan itu  bahkan lebih murah dari harga teh botol.

mainan othok-othok, entah apa nama sebenernya mainan ini, dibikin dari bilahan bambu dan diberi warna terang. bapak itu mewarnani bilahan bambu itu dengan warna hijau. sementara, di bagian ujungnya, dibikin baling-baling, yang juga dibuat dari bilahan bambu yang lebih tipis lagi. benang putih tipis dan kertas minyak warna kuning dan merah menjadi penghias baling-baling itu. diantara gagang bilah bambu dan baling-baling itu ada lempengan seng tipis yang ditempeli lidi dan diikat dengan karet. juga, ada potongan bekas bungkus rokok sebagai genderang lidi itu. sekali othok-othok itu dikibaskan, maka baling-baling akan berputar dan menciptakan suara “othok…othok…othok …”

itu mainan saya waktu kecil; 30 tahun yang lalu.

“orang-orang yang bikin itu biasanya dari cirebon. mereka datang ke jakarta naik bus dengan ongkos 30,000 rupiah. mereka tinggal di emperan toko atau terminal di malam hari, setengah bulan atau sebulan sekali mereka kembali ke rumah. di cirebon banyak pengrajin mainan anak tradisional seperti itu,” kata pak pengemudi taksi blue bird yang saya tumpangi, tak lama setelah saya dan bapak penjual mainan othok-othok itu berpisah di persimpangan penyeberangan jalan.

dari cirebon? owh, hati saya tambah habis.

kebijakan impor mempermudah pengusaha untuk mengusung mainan dari luar Indonesia sehingga harga mainan menjadi lebih murah dan akan ada begitu banyak orang yang bisa menikmati mainan dari luar negeri. tapi, bagaimana dengan mainan yang dibikin dari pengerajin mainan anak-anak tradisional?

“anak-anak di jakarta, anak-anak jaman sekarang, apa masih mau mainan seperti itu?” tanya pak pengemudi. ia bilang, di masa kecilnya, ia pergi ke cirebon setahun sekali dari rumahnya, membeli empal gentong dan mainan othok-othok itu. “itu saja, saya sudah setengah mati gembiranya …” katanya.

iya, sama halnya dengan saya yang juga gembira dengan mainan yang luar biasa itu pada masa kecil saya.  iya, mainan othok-othok itu.

“tapi Tuhan itu adil kok mbak, melalui cara apapun …” kata pak pengemudi itu. membuat saya makin mengatupkan bibir saya, dan menyadari ada butiran bening merembes dari ujung mata saya.

iya, Tuhan itu adil. Tuhan itu pasti adil.

saya terus mengamati mainan othok-othok yang ada di tangan saya, memainkannya perlahan, melahirkan bunyi ”othok-othok-othok’ .

satu mainan othok-othok-othok seharga 2,000 rupiah itu ada di kubikel saya.

Tagged: » » »

2011-12-10  »  Femi Adi