perpisahan jam 9.12
Thursday 20 December 2007 - Filed under friends from heaven + pal224
jam di handheld BB saya menunjukkan jam 9.12 saat saya masuk kamar lagi, usai mengantar epoy pindahan. kamar sebelah sudah kosong. epoy sudah pindah.
hiks.
sedih banget ada temen pindah kos. eh, bukan pindah kos sebenernya, tapi pindah ke rumah baru karena mau menikah. sejak dulu saya enggan mengantar kepindahan teman. bahkan, untuk epoy, saya sudah bilang padanya untuk tidak akan melihat dia pergi dari kos di hari terakhir. “aku tanggal 20 sudah enggak disini lagi, bablas langsung sampai tahun baru 2008,” katanya pada saya, suatu hari.
saya benci perpisahan. meski tak bisa menolak, tapi sungguh, saya tak ingin melihat orang memunggungi saya untuk pergi, sembari melambaikan tangan. saya tak ingin melihat orang mengatakan, “bye, see you later!” saya justru ingin dilimpekke, saya tak ingin melihat kepergiannya untuk yang terakhir. saya hanya ingin melihat dia sudah tidak ada. itu saja.
saya ingat betul bagaimana mengantarkan esti, kakak saya, ke bandara. saya akan melihatnya lagi tiga tahun yang akan datang. melihatnya memasuki pintu screening di bandara, uwh, butiran bening ini tak bisa berhenti mengalir. saya tahu dia harus pergi sebentar. tapi, saya sungguh tak ingin melihatnya punggungnya pergi menjauhi saya.
juga oluyinka, seorang teman dari Nigeria, yang lebih dulu terbang di pagi hari ketimbang saya. pagi-pagi, saya sengaja tak bangun lebih awal untuk mengatakan goodbye padanya. saya memilih meringkuk di kasur. eh, oluyinka justru mengetuk pintu kamar untuk memberi pelukan terakhir. mau tak mau, saya harus mengantarnya sampai depan, memberi pelukan hangat, melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. lagi-lagi, mata ini basah.
frank, seorang teman dari australia, harus pergi pagi-pagi buta. saya tak ingin mengantarnya ke bandara. saya ingin tinggal di kamar saja. “antar aku …” katanya. uwh. iya, saya antar. dan benar. rasanya sulit untuk mengangkat tangan, melambaikannya dan bilang goodbye. yang ada, sudut mata sudah membanjir, dan napas menjadi sesak tiba-tiba.
begitu juga pagi ini.
semula, saya mengira hari ini dia bakal sudah raib dari kamar sebelah. itu sebabnya, kepulangan saya ke jogja untuk merayakan natal saya bikin tanggal 21 desember dari Jakarta. tapi apa yang saya dapati semalam? tapi, ternyata tidak. pulang ke rumah, barang-barang epoy masih berserakan. keranjang sampah, alat mandi, sepatu, sandal jepit. duh. bahkan, tanggal 19 desember adalah malam terakhir dia menginap di kos. spreinya pun sudah ia gulung. tidur hanya beralas kain batik. aduh. saat mencuci belasan kaos di ruang cuci, epoy muncul. uwh.
“jam berapa besok pergi?” tanya saya pada epoy, semalam. “jam 8 pagi,” jawabnya singkat. maka pagi ini saya sengaja tak buru-buru bangun. udara pagi jakarta yang lebih adem dari biasanya, membikin saya agak betah di kamar. dan, saya ‘ingin lupa’ bahwa semalam adalah perbincangan terakhir di kos dengan epoy. saya juga ‘ingin tidak melihat’ kendaraan menculiknya dari kos ini. saya berharap saat bangun dia sudah pergi. tapi … ternyata jam baru menunjukkan pukul 7.53. asem.
saya bangun. menghampiri kamarnya. membantunya packing. “kenapa gue malah ngebantuin lo packing, poy?” seru saya dalam hati. sungguh, saya sedih. bukannya emoh membantu mengepak perkakasnya. tapi saya tak ingin menjadi orang yang melihat langkah kaki terakhirnya di kos ini!
“orang kan harus meninggalkan, fem. nanti, kamu juga seperti ini,” katanya, semalam. meski bijak, tapi terdengar klise. bisa jadi tulus. tapi, saya malah melihat dia hanya ingin menghibur saya saja. dia tahu, saya orang yang paling bersedih saat ini.
“ternyata orang hidup itu ada alurnya ya … bertemu dengan orang-orang, bersama-sama, kemudian pergi …” katanya lagi. dalam hati saya, ah basi. memang benar. tapi, jangan mencoba menghibur hati saya ah. mendadak frozen nih.
juni 2003, saya menjadi penghuni rumah sewa di palmerah utara II/224. kedatangan saya hanya selisih satu hari dengan epoy. sama-sama dari jogja. sama-sama di sekolah perempuan saat usia belasan. sama-sama menjadi penghuni baru di kos ini. saya tahu betul daerah boro, rumah asalnya. kedekatan emosional ini yang membikin saya dekat dengannya, lebih dari empat tahun belakangan ini.
kami gemar merumpi.
membincangkan tetangga kamar sebelah. membincangkan laki-laki nakal di rumah maya. membincangkan model pakaian yang harganya bisa bikin puasa sebulan. membincangkan makanan tradisional. membincangkan jogja. membincangkan santa maria, stella duce dan de britto. membincangkan atmajaya dan sanata dharma. membincangkan tas ratusan ribu dengan model berbeda.
kami gemar mencuci bersama.
malam, kami meriung di ruang cuci. jongkok berdua. berbagi air dan ember. juga, berbagi tawa. sambil merumpi tentang rumah kos dan fasilitas yang serba terbatas. tentang ember pecah dan berlubang. tentang jemuran yang tak kering-kering. tentang keran air yang susah dibuka dan ditutup.
kami gemar mojok di kamar uthe, kamar epoy, kamar saya, bahkan ruang tengah.
membagi gelak dengan teman-teman, sembari berbisik-bisik soal si anu dan si anu. menutup dengan cepat channel televisi yang menayangkan adegan mengerikan. berbagi makanan dan memutarkan ‘piala kedodolan’. menyimak cerita lucu ucil yang bikin berkerut (berarti nggak lucu ya?). mencari perbedaan kosakata jawa dan batak. duh.
besok tidak lagi. iya. besok tidak lagi. bisa jadi, malam nanti saya salah tingkah. sendirian di rumah sewa, tanpa epoy.
tapi, hidup harus jalan terus kan? saya tahu betul, kelak saya juga menjadi seperti epoy. keluar dari rumah sewa. pindah ke rumah karena menikah. (amin, amin, amiiiiiiiinnnnnnn …) hanya saja sekarang harus mulai menyusun rencana: kapan bisa ketemu epoy ya? mungkin makan siang. mungkin belanja bareng. mungkin chat saja. mungkin berkirim email dan pesan pendek.
pagi tadi, saya emoh bersalaman dan ciuman dengan epoy. lihat tidak, kelopak mata ini ditahan agar tak mengedip. sekali mengedip, lapisan tipis air di atasnya akan meleleh. sambil menggeret gerbang, toh, kucuran butiran bening ini tak bisa ditahan. saya menangis.
teman. sahabat. kakak. “love you, sist. wish you luck!” tulis saya di pesan pendek yang saya kirimkan untuknya.
2007-12-20 » femi adi soempeno
4 July 2008 @ 7:47 pm
[...] dia yang membuat saya selalu ingin pulang ke rumah sewa kami di palmerah 224. sebuah keriangan kecil sembari mendetakkan jarum jam ke kanan dan terus ke kanan. tanpa rasa kantuk, atau bahkan, melawan rasa kantuk. [...]