Content

when writing the story of your life, don't let anyone else hold the pen

bingkisan, dan hitungan ‘mahal’

Monday 26 December 2011 - Filed under cerita bumijo

saya menghargai sebuah bingkisan dari senyum yang mengembang, gelak ceria, kegemasan untuk memeluk hadiah kecil itu, dan niat positif untuk membungkus kado kecil itu.

dalam sebuah perjalanan shopping, saya mengambil beberapa barang yang sudah jelas itu bukan untuk saya. protes mencuat dari bibirnya. “itu kemahalan, anak kecl itu kan terus tumbuh. kalau mau ngasih, jangan beli disini. beli aja di ITC, jauh lebih murah. nanti deh aku beliin di ITC aja.”  ia terlihat gusar.

dan saya meletakkan barang itu lagi. harga barang itu tak seberapa selisihnya dengan barang yang dijual di ITC, sekitar lima ribuan. kalau saya harus ngangkot ke ITC, atau harus mengegas kendaraan saya, memarkirkan dengan ongkos 1,000 rupiah per jam, rasanya jatuhnya akan sama saja.

tapi saya tetap meletakkan barang itu. kelak saya akan membelinya sendiri, saat saya tak lagi bersamanya.

entah, apa-apa baginya serba mahal.

bagaimana kalau tak mengukurnya dengan uang. ah, mustahil. baginya selisih 5,000 adalah selisih 5,000.

sampai akhir tahun ini, tak secuilpun saya dengar ceritanya membungkuskan barang di ITC sebagai kado kecil.

tidak sampai akhir tahun ini.

Tagged: » »

Comments Off  ::  Share or discuss  ::  2011-12-26  ::  Femi Adi

harga mainan othok-othok itu Rp 2,000

Saturday 10 December 2011 - Filed under isu indonesia + kubikel

saya melihatnya. lelaki sepuh berperawakan kecil, mengenakan baju putih dan celana putih yang tak lagi bersih, dengan topi yang melindungi kepalanya, berwarna cokelat muda.  ia menyeka keringat yang menempel di dahi dan sebagian wajahnya. di bahunya, sebilah bambu panjang mengangkut agar-agar dan mainan othok-othok berwarna kuning-merah-hijau.

untuk menarik perhatian, ia sesekali mengibaskan tangannya, membunyikan mainan othok-othok itu.

“kalau mau ke setia budi, arahnya ke mana ya?” tanyanya pada saya. saya menunjuk jalan seberang, persis ke arah yang akan saya tuju. dia bilang, dia berjalan kaki menjajakan dagangannya dari pulo gadung.

kami berjalan beriringan. menyeberangi jembatan penyeberangan yang tak jauh dari gedung KPK.  padanya saya bertanya berapa harga mainan othok-othok itu.

“2,000 rupiah,” katanya.

hati saya habis.  harga mainan itu  bahkan lebih murah dari harga teh botol.

mainan othok-othok, entah apa nama sebenernya mainan ini, dibikin dari bilahan bambu dan diberi warna terang. bapak itu mewarnani bilahan bambu itu dengan warna hijau. sementara, di bagian ujungnya, dibikin baling-baling, yang juga dibuat dari bilahan bambu yang lebih tipis lagi. benang putih tipis dan kertas minyak warna kuning dan merah menjadi penghias baling-baling itu. diantara gagang bilah bambu dan baling-baling itu ada lempengan seng tipis yang ditempeli lidi dan diikat dengan karet. juga, ada potongan bekas bungkus rokok sebagai genderang lidi itu. sekali othok-othok itu dikibaskan, maka baling-baling akan berputar dan menciptakan suara “othok…othok…othok …”

itu mainan saya waktu kecil; 30 tahun yang lalu.

“orang-orang yang bikin itu biasanya dari cirebon. mereka datang ke jakarta naik bus dengan ongkos 30,000 rupiah. mereka tinggal di emperan toko atau terminal di malam hari, setengah bulan atau sebulan sekali mereka kembali ke rumah. di cirebon banyak pengrajin mainan anak tradisional seperti itu,” kata pak pengemudi taksi blue bird yang saya tumpangi, tak lama setelah saya dan bapak penjual mainan othok-othok itu berpisah di persimpangan penyeberangan jalan.

dari cirebon? owh, hati saya tambah habis.

kebijakan impor mempermudah pengusaha untuk mengusung mainan dari luar Indonesia sehingga harga mainan menjadi lebih murah dan akan ada begitu banyak orang yang bisa menikmati mainan dari luar negeri. tapi, bagaimana dengan mainan yang dibikin dari pengerajin mainan anak-anak tradisional?

“anak-anak di jakarta, anak-anak jaman sekarang, apa masih mau mainan seperti itu?” tanya pak pengemudi. ia bilang, di masa kecilnya, ia pergi ke cirebon setahun sekali dari rumahnya, membeli empal gentong dan mainan othok-othok itu. “itu saja, saya sudah setengah mati gembiranya …” katanya.

iya, sama halnya dengan saya yang juga gembira dengan mainan yang luar biasa itu pada masa kecil saya.  iya, mainan othok-othok itu.

“tapi Tuhan itu adil kok mbak, melalui cara apapun …” kata pak pengemudi itu. membuat saya makin mengatupkan bibir saya, dan menyadari ada butiran bening merembes dari ujung mata saya.

iya, Tuhan itu adil. Tuhan itu pasti adil.

saya terus mengamati mainan othok-othok yang ada di tangan saya, memainkannya perlahan, melahirkan bunyi ”othok-othok-othok’ .

satu mainan othok-othok-othok seharga 2,000 rupiah itu ada di kubikel saya.

Tagged: » » »

Comments Off  ::  Share or discuss  ::  2011-12-10  ::  Femi Adi

tanaman itu milik siapa?

Friday 9 December 2011 - Filed under cerita cidodol residence

di ujung kanan teras rumah saya, kini terdapat sejumlah pot tanaman.

entah, itu milik siapa, dan siapa pula yang meletakkannya di sana.

saya juga tak keberatan ada tanaman di sana. pasalnya, saya juga tak meletakkan apapun di sana. dan selama ini, teras saya juga selalu bersih. maksudnya, kosong. :)

ujung kanan teras rumah saya itu menjadi tempat favorit kucing tetangga untuk pup. humm … saya tak pernah mempedulikannya. pun saya jarang membersihkan pup nya. begitu pagi hari saya berangkat ke kantor dan melihat ada pup di sana, sore harinya pup itu sudah bersih, entah ke mana.

di depan pintu rumah saya, juga menjadi tempat favorit kucing tetangga untuk pipis. yang ini, saya selalu membersihkannya kalau saya hendak menjemur pakaian. sesekali, saat saya tak mencuci dan menjemur, saya juga meninggalkannya begitu saja. sore hari saat saya pulang ke rumah, pipis itu sudah tidak berbekas, entah ke mana.

jadi, siapa pemilik tanaman itu?

 

Tagged: » »

Comments Off  ::  Share or discuss  ::  2011-12-09  ::  Femi Adi

bapak tua penambal ban di depan apt. shangri-la

Saturday 3 December 2011 - Filed under isu indonesia

tubuhnya kecil. kulitnya sudah mengeriput. tangannya tak lagi kekar.

dia selalu mengenakan pakaian yang sama: celana hitam yang panjangnya tak lebih dari mata kaki, dan kemeja cokelat muda. sepeda yang digowesnya selalu sama: bmx yang sudah berkarat.

ia selalu ada di trotoar di depan apt shangri-la saat jam pulang kerja mulai membanjiri jalanan dengan pengendara mobil dan motor.  ia menandai keberadaan dirinya dengan ban sepeda motor yang dipajangnya di tepi trotoar. sepeda bmx-nya selalu menyandar dinding pagar apartemen mewah itu.

saya selalu berharap kendaraan saya kempes tak jauh dari tempat nongkrong bapak tukang tambal ban itu. saya ingin berbincang dengannya.

lebih dari setengah tahun saya melajukan kendaraan saya, tak pernah ban motor saya kempes di dekatnya.

keberadaannya selalu mengusik saya. barangkali karena kadang ada lebih dari dua kendaraan yang antri ditambal olehnya dalam waktu yang bersamaan. barangkali karena kekontrasan apartemen mewah dan adanya pak tukang tambal ban ini di satu area yang sama. barangkali karena ia juga tetap bertahan disana, tanpa kompresor besar melainkan dengan pompa angin genjotan dengkul dan tangan, dan api yang menyala kecil untuk memberi tenaga tambalan bannya.

barangkali karena ia tetap bertahan dengan payung hitam lusuh dan berlubang saat hujan mengguyur kawasan itu.

sekali waktu saya melihatnya menggenjot sepedanya. tanpa membawa alat penambal ban yang sederhana itu. lepas maghrib. ia terlihat berasal dari tempat nongkrongnya.

ya, saya sangat ingin berbincang dengannya. dengan bapak bertubuh kecil itu, bapak penambal ban.

Comments Off  ::  Share or discuss  ::  2011-12-03  ::  Femi Adi