Saturday 15 October 2011
-
Filed under
cerita cidodol residence
tukang jual ayam: ayam… ayam
saya: ayam, minta 12 potong, dan ati ampela 3 potong
tetangga: ayaaam … ayaaam …
tukang jual ayam: ayam, bu haji
tetanga: ada kepala?
tukang jual ayam: ada, tinggal dua kepala
tetangga: ayamnya, kepalanya ada?
tukang jual ayam: ada, tapi cuma nyisa dua. yang lain sudah pesanan, bu haji
tetangga: ya, kepalanya ga ada ya?
tukang jual ayam: ada bu haji, adanya cuma dua
tetangga: yaa …
tukang jual ayam: jadinya, mau?
tetangga: engga ah …
ini bukan hanya sekali ibu tetangga ini menyambangi saya dan tukang jual ayam ketika kami sedang bertransaksi. dan menyisakan keengganan belanja ayam sesudahnya.
Comments Off ::
Share or discuss
::
2011-10-15 ::
Femi Adi
Monday 10 October 2011
-
Filed under
cerita cidodol residence
i wish you were here, mom
saya berharap ibu disini dan menjajal pijakan empuk genjotan mesin jahit listrik `singer`.
saya berharap ibu disini dan menjahit kembali, tanpa harus bersusah payah dengan kayuhan manual mesin jahit singer lawas-nya. saya berharap ibu disini dan menjinjing-memindahkan mesin jahit singer berwarna putih ini, dari kamar ke ruang tengah, dari meja makan ke ruang tamu. saya berharap ibu disini dan dengan sabarnya mengajari si bungsu menjahit lagi.
sebelas tahun usai ibu pindah ke rumahnya yang baru, saya membungkus mesin jahit dari outlet singer, dan menjahit lagi. kemeja sederhana dengan kain bermotif teddy bear —yang masih saya simpan hingga saat ini– adalah jahitan ibu terakhir untuk saya.
hal yang membikin saya ingin menjahit adalah kenginginan untuk membikin wadah peralatan liputan. mulai dari notes, charger, pena, kartu nama, recorders. sebuah permintaan/pertanyaan yang saya layangkan pada sebuah blog tentang kemungkinannya membikinkan satu-dua-tiga wadah perlaatan liputan untuk saya, tak dibalas. “bagaimana kalau bikin sendiri?” tantang saya, pada diri sendiri.
dan keinginan itu mulai menumpuk. seminggu. dua minggu. tiga minggu. empat minggu. tujuh minggu. delapan minggu. dua belas minggu. saya membeli buku-buku tentang ide-ide asik yang bisa dijahit. saya membeli satu demi satu buku itu. saya pikir, semakin saya membeli buku itu, semakin saya enggan menjahit, saking rumitnya. nyatanya tidak. saya justru ingin menjahit. dan saya semakin ingin menjahit.
dan saya membungkusnya. sungguh. saya membungkus mesin jahit singer.
saya diuntungkan oleh jaman yang terus bergerak, yang membikin teknologi mesin jahit menjadi semakin modern tanpa meninggalkan kesederhanaannya. dus, saya bisa menjahit dimana saja karena itu mesin jahit tanpa meja. pun, mesin jahit menjaid lebih ringan karena terbikin dari plastik. pembeda lainnya adalah kalau dulu wadah benangnya vertikal, sekarang menjadi horisontal. dan kalau dulu benang pada jarumnya dimasukkan dari kiri ke kanan, sekarang dari muka ke belakang.
ini mainan baru saya. sungguh, saya berharap ibu ada di sini.
“ibu, femi beli mesin jahit …” saya komat-kamit sesaat setelah saya membuka bungkus karton mesin jahit, dan meletakkannya di meja.
Comments Off ::
Share or discuss
::
2011-10-10 ::
Femi Adi
Sunday 9 October 2011
-
Filed under
friends from heaven + isu indonesia + kegemaran + kuliner + pit-pitan + plesiran
terimakasih untuk abang yang menebalkan portfolio bersepeda saya di jalur yang tak biasa: tangkuban perahu.
setelah jogja-borobudur yang membikin saya mandek di tanjakan juminten, dan niteride di cibubur-cibinong, saya kembali ikut gowes dengan abang dan koleganya.
saya tak pernah tahu medan di kawasan ini. tapi saya bersyukur, ketidaktahuan ini justru membikin nyali saya tidak ciut. dus, saya mengiyakan saja tawaran abang. “ga usah dibayangin track-nya. liat besok aja. pokoknya asik dah,” katanya, sesaat sebelum kami berangkat ke bandung.
ya, sepertinya itu lebih baik. jauh lebih baik.
hanya tiga dari kami yang perempuan, termasuk saya. sementara yang lainnya adalah laki-laki dengan jam terbang yang sudah mencapai level FSA alias full speed ahead. owh, dem. dan dari ketiga perempuan ini, tentu saja hanya saya yang selalu ada di barisan paling belakang, dan paling sering dibantu marshall.
wangi hutan pinus. teman-teman baru. gelak tawa.
adakah yang lebih asik ketimbang itu? saya rasa tidak ada.
kelengkapan perkakas bersepeda seperti bodi protektor yang dipakai pegowes, sempat membikin saya jiper. wah, saya engga pake. saya hanya komat-kamit, ya, cuma doa saja yang akan menopang siku, lutut, kaki, tangan dan tubuh agar tidak lecet-yang-berlebihan. huwashawusblahblahblah, terjadilah padaku menurut kehendakMU, amin-amin-amin.
lagu yang diperdengarkan dari blackberry, seperti kata abang, membuat gowesan kami terasa seperti naik odong-odong. haduh. di sela itu, saya bersyukur, ada begitu banyak orang baik yang berbagi teknik bagaimana bersepeda dengan tepat: bagaimana mengendalikan sepeda di turunan, bagaimana menggowes di tanjakan, bagaimana menyelinap diantara akar-akar pohon dan juga batang-batang pohon yang berusia puluhan, bahkan ratusan tahun. aih.
“trek … trek … trek …” begitu teriak om heru, saat saya menggowes di depannya. haduh, sial. saya langsung menepi, dan kapok berada di depannya. cilaka kalau menghadapi pegowes-tangguh-berusia-diatas-limapuluh. tak cuma diajari, saya juga dikerjai.
sekitar 98% tanjakan yang saya lalui, saya memilih untuk menuntun sepeda saya. kalau mas rufus bilang, “saya engga cocok di tanjakan …” oops. ‘engga cocok’ itu sebenernya dibaca ‘engga mampu’, dalam istilah yang lebih cool. baiklah. saya pun mengiyakan, dengan anggukan yang begitu mantapnya.
hujan membikin hutan di tangkuban perahu terasa lebih romantis. **uhuy** wangi tanah dan hutan terasa lebih tajam, dan gelap terasa lebih menyandera. **ehm**
kecelakaan terjadi saat medekati jayagiri. sayang, saya tak menjadi saksi matanya. pak darjoto terpeleset saat menggelinding di turunan di tanah yang basah. ah, saya yakin, kecelakaan ini tak akan menyurutkan niat dan nyalinya untuk bersepeda, setelah enam sepeda plus satu double cab dia bungkus untuk memuaskan rasa penasarannya. **semoga lekas sembuh**
terimakasih untuk dua marshall dari tangkuban perahu, yang menyurung sepeda dan menemani saya di garis paling belakang. juga, terimakasih untuk mas erry yang menantang, “di bali, ikut kan?”
ya, saya pasti ikut. saya akan ikut di bike trip selanjutnya, di bali.
terimakasih untuk om ijay, yang sudah memberikan tumpangan pp jakarta-bandung-jakarta dan menginspirasi saya mengangkut 100 ml spray ethylchloride untuk kram saat menggowes. sudah pasti, terimakasih untuk abang yang mengajak saya ke tangkuban perahu, dan rekaman tertulisnya untuk fun-trip ini.
sampai ri
Comments Off ::
Share or discuss
::
2011-10-09 ::
Femi Adi
Sunday 9 October 2011
-
Filed under
friends from heaven + kegemaran + pit-pitan + plesiran
FunBike RC3 di Tangkuban Perahu seri kedua
Hujan deras masih mengguyur kota Bandung sore itu (Sabtu, 7/10). Udara dingin terasa menusuk kulit, sementara kabut mulai turun. Mungkin sebagian besar orang memilih tinggal di dalam rumah, membungkus rapat dirinya dengan jaket atau sweater untuk mengusir hawa dingin, sambil minum teh hangat atau menonton teve.
Tapi tidak buat kami, RC3’ers (anggota Rajawali Cycling Community). Sore itu, kami menembus kota Bandung bermodal sepeda MTB plus sisa tenaga, menempuh perjalanan tak kurang dari 18 km –menurut Paman GoogleMaps– dari Punclut di Bandung Utara, menuju perumahan Batununggal, di daerah Buah Batu, Bandung Selatan. Namun cuaca berkabut dalam terjangan hujan justru menjadikan suasana kota Bandung begitu syahdu sekaligus mistis. Sungguh kesempatan yang takkan terulang, gowes di Bandung dalam hujan menghabiskan sisa tenaga setelah seharian gowes di Tangkuban Perahu.
Hari itu, RC3 memang sedang punya hajat penting. Salah seorang anggota BOD, Darjoto Setyawan ikut dalam acara gowes offroad menempuh rute Tangkuban Perahu- hutan Jayagiri – Lembang dan finish di Punclut. Bukan cuma anggota BOD, CEO business unit Bukit Asam Transpacific Railway (BATR) Rudiantara juga turut serta. Jadilah gowes kali ini menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan komunitas pesepeda RC.
Memori hutan pinus
Gowes melintasi kota Bandung sebenernya cuma partai pamungkas. Setelah malam hari sebelumnya kami harus berjibaku melawan kemacetan Jakarta pada hari Jumat sore. Berangkat dari kantor jam 7 malam sehabis kerja seharian, kami baru tiba di Batununggal lewat tengah malam. Untungnya, perut sudah diganjal nasi padang Sederhana di rest area km.57 tol Cipularang. Tanpa banyak membuang waktu, malam itu kami cepat-cepat naik ke peraduan untuk menyimpan tenaga.
Sabtu pagi jam 5.00, beberapa teman sudah bangun untuk sholat subuh. Keruan yang lain ikut bangun tak lama kemudian. Setelah membersihkan diri, kami mulai menurunkan sepeda dari mobil, merangkai dan melakukan setting. Pagi itu kami cukup cemas karena matahari sedikit tertutup awan dan bahkan sempat gerimis sebentar. Jam 6.30, saat setting tengah dilakukan, datanglah sarapan yang tak mungkin kami tolak, sate sapi, sate ayam dan sate susu plus lontong. Kami tahu, perut harus diisi sebelum aktifitas fisik yang akan kami lakukan sepanjang pagi hingga siang itu.
(more…)
Comments Off ::
Share or discuss
::
2011-10-09 ::
Femi Adi