jogja-jakarta, 20/2/2005
Monday 21 February 2005 - Filed under cerita pjka + friends from heaven + plesiran
lokomotif ini kembali mengarak gerbong-gerbong.
mengantar aku ke jakarta, gerbong tua ini tampak tak berdaya. lihat saja, kacanya ga ada yang terawat dengan sehat. lantainya tak sedap buat diinjak. dan kalau hujan itu lo, airnya sampai kemana-mana. tapi tak apa, toh selama ini aman-aman aja. asal jangan banjir aje.
kami cukup dibuat panik dengan resimen mahasiswa alias menwa yang naik ke ‘gerbong kami’. wah, payah banget. sudah mereka baris berjajar terus, nggak naik2 lageeee … ‘biayakan’, itu kosakata yang tepat untuk menggambarkan kami yang sudah menge-cing kursi buat tidur, ternyata malah digeruduk menwa. asem tenan. alhasil kami yang sedianya 1 kursi untuk 1 orang, harus mengalah 1 kursi buat 2 orang. dan perjalanan kali ini sungguh berbeda dengan yang biasanya.
mas anton menjemur red carpet-nya yang basah gara-gara buat tudung kepala setelah turun dari bus dan menuju stasiun. di depanku, pak wajiyanto, asik membakar rokok 76-nya. sedangkan sebelahku, pak waldi, asik menyapa sana-sini. depan belakangku, tak kalah heboh. saling bertukar cerita, dari gosip soal kondektur dan masinis kereta hingga anak mereka yang doyan makan tempe gembus, krupuk dan telo godog. tiga per empat kursi gerbong dikangkangi menwa, resimen mahasiswa, berseragam ijo tua layaknya tentara gadungan (yang tentara beneran kan ijo doreng!). geli melihat mereka. dari wajahnya mereka tampak sok gagah dan sok berwibawa dengan potongan rambut dan pakaian yang serba seragam.
sementara itu, aku asik menikmati rintik kecil hujan. semakin ke barat, matahari tampak bersinar dengan cerah. hmmm … ini fajar, atau senja yah?
wanita berkulit gelap itu masih menebar senyumnya. entah, namanya siapa. dia selalu hadir di kereta ini dengan aqua dingin dan adem nya. ramah, ia tak ngotot meneriakkan dagangannya. menuju kutoarjo, dia berganti menjajakan permen, tisu dan rokok. di stasiun kutoarjo, ia turun untuk kembali ke jogja.
***
di perjalanan kali ini, kami tak makan masakan rinto. ia pedagang nasi bungkus dengan menu rames yang naik dari stasiun kutoarjo dan turun di stasiun kroya. masakannya enak mesti menunya nggak pernah ganti. “sayangnya dia nggak bisa bikin variasi lauk,” keluh pak wal. menunya sederhana, asal bisa dimakan tanpa bikin repot di atas kereta. nasi-gudeg-ayam, nasi-gudeg-telur. nasi-oseng-ayam, nasi-oseng-telur. bosen juga sih. satu-satunya yang mengalahkan kebosanan itu adalah nasi hangatnya yang pulen. luluh lantak rasa bosannya gara2 rinto datang dengan nasi hangatnya.
rinto membelokkan kakinya setelah melihat gerbong kami penuh dengan orang-orang berseragam ijo. barangkali, ia berpikir kami nggak ada di gerbong ini. waks … dia langsung menuju ke gerbong dua dan seterusnya.
“ada yang mau nasi wader-nya purwokerto?” tanya mas-mas yang satu gerbong dengan saya. dia memang langganan PJKA (pulang jumat kembali ahad), hanya aku tak mengenalnya dekat. ia biasa juga makan rinto. tapi agaknya malam itu ia ingin menu yang berbeda. satu-dua keinginan timbul. nasi-godong telo-wader-mendoan-telur. itu menu standarnya. ada yang minta 2 mendoan. ada yang minta tambah teh. waaaa … membayangkan nasi hangat dengan lauk wader dan mendoan, rasanya nikmat sekali.
saya pesan: nasi-godong telo-wader-telur-2 mendoan. banderolnya: 5000
mbak nunung, itu penjual yang di sms sama mas-mas itu. hebat bener. dagangan, pesen dari kutoarjo, cukup sms saja. sayangnya, wadernya habis. gantinya: udang. lama rasanya menunggu pemberhentian di stasiun purwokerto. untungnya jarum jam tidak mandek. sampai akhirnya menu itu datang.
box putih mungil itu datang! bahannya terbuat dari plastik, seukuran kardus roti buat arisan ibu-ibu. disitu, semua menu tumplek blek dengan sempurna, kecuali mendoan yang terpisah di bungkusan lain. aiiiii nikmatnya! tentu saja, lauknya adalah: lapar!
denagn dialasi bungkus coklat, nasi hangat itu tidak sedikit. nasinya pulen, putih, padat. diatasnya dilambari plastik untuk meletakkan godong telo, telur dadar dan sambal. tampak telur dadarnya nggak disunat ukurannya menjadi lebih kecil. 2 mendoan sayab jumput dari tas hitam kresek yang disodorkan mas-mas. sungguh mendoan itu menggoda mata. tempenya lebar-tipis. dibuntel tepung yang proporsional, sehingga nggak tebal dan nggak tipis. pas! lembek, hangat, sungguh ingin mencaploknya dengan segera!
kami makan rame-rame. orang ‘sipil’ dalam gerbong itu memang sebagian bsar memesan masakan mbak nunung. sssllluuurrpp … rasa gurih mendoannya bahkan masih terasa hingga kini.
***
perut kenyang. mau apa lagi?
menggelar koran yang dijual 1000 per 3 bundel, menata bantal diatasnya dan tidur! kami berbagi tempat. ada yang diatas, ada yang dibawah. saya sering tidur kursi. alasannya, karena saya perempuan. eits, itu bukan saya yang bilang, tapi mereka. tapi saya ingin merebahkan badan di bawah, dengan alas koran seadanya.
tau-tau sudah sampai bekasi. “mbak, bangun. masuk bekasi,” kata pak waldi. hihihi … memang, kalau sudah tidur, bentuk saya seperti orang mati. ga berasa melewati cirebon.
saya tengok jam saya. hah, yang bener neh? serasa ga percaya, 01.30 kaki saya sudah menginjak stasiun senen.
2005-02-21 » Femi Adi