Nutrisi Jiwa di ujung minggu di Jakarta
Sunday 3 December 2006 - Filed under friends from heaven + kegemaran + kubikel + media + weekend escape
nutrisi jiwa itu datang dari orang-orang di sekeliling saya.
saya sejenak meninggalkan keriaan di ujung minggu di Jogja. saya memilih untuk mengasup energi di Jakarta. sejumlah temu janji pun dibikin. diantaranya, agenda jalan-jalan jajan-jajan bersama dengan lelaki dengan huruf L, dan meriung bersama dengan sahabat dekat, yaitu kunto. selebihnya, membereskan kamar kos dan menulis.
rangkuman sabtu
saya memberesi kamar kos saya. ternyata debunya sudah jauh lebih tebal dari yang saya perkirakan. saya mengubah posisi kamar tidur. memindah ini dan itu. membuang ini dan itu. menumpuk ini dan itu. “femi mau pindahan ya?” seloroh teman kos saya. uwh, tentu tidak.
secepat kilat, saya memberesi kamar saya. sata tak lupa dengan janji saya dengan lelaki dengan huruf L.
saya sudah membayangkan akan memetik sabtu yang indah bersama dengan lelaki dengan huruf L itu. proposal untuk jalan-jalan jajan-jajan pun sudah saya rancang sedemikian rupa. rutenya sepanjang koridor satu TransJakarta. mencicipi bakwan malang di Tee Box, menggigit siomay di HOS Cokroaminoto, menjilati es krim legendaris Ragusa, mengunyah sate lembut di Tanah Abang, dan berakhir di kawasan yang super ribet, yaitu nasi ulam Misjaya di Jakarta Kota. saya membayangkan saya akan sibuk naik turun angkot, membonceng si abang ojek sepeda dan kesusahan keluar dari bajaj. jumat lalu, bisa saya pastikan sabtu akan menjadi milik saya.
tetapi tidak demikian, rupanya. saat pak Yus sudah siap memboncengkan saya ke Tee Box, lelaki itu membatalkan dengan tiba-tiba. Huh. Huh. Huh. Huh. bulan ini, saya tak mungkin akan tinggal di ujung minggu lagi. paling cepat, besok januari atau februari.
saya ingin menangis. dan … saya menangis dibahu abang. “Laki-laki memang begitu dek. itu sebabnya abang juga nggak mau pacaran sama laki-laki …” uwh. gojekan garing. tapi walau garing, guyonan abang ini sempat membuat kedua ujung bibir saya melengkung sedikit. sesiangan, abang menemani saya dan menyupiri saya keliling jakarta. “mau kemana? sini, abang antar. tinggal bilang aja … ”
mau ke dufan. mau nyoba soto kwali di bambu apus. mau berburu rumput. mau cari ubi cilembu di puncak. mau jalan-jalan ke bonray. mau … “kalau abang capek, kamu yang nyetir ya!” wah wah wah wah. tentu tidak. saya memilih untuk putar-putar jakarta sejenak. saya kemudian menentukan untuk melihat pembangunan di ibukota negeri ini saja dan mengiris satu-dua jam di penangbistro di bilangan kebon sirih.
abang adalah nutrisi jiwa di hari sabtu ini. terima kasih ya bang untuk sejumput sabtu yang panas yang abang cuilkan buat saya. shanghai blue-meradelima-kembanggoela nya lain waktu ya.
pulang. tidur. dan lelaki dengan huruf L menelpon. basi ah.
rangkuman minggu
“saya sudah kehabisan energi untuk menulis!” keluh saya pada sahabat lama saya, kunto, sepagi tadi.
janji temu tetap dibikin, meski molor satu jam dari yang dijadualkan semula. ia pun menunjukkan sebuah klip yang membuat saya terperangah. seorang perempuan muda yang melakukan segala sesuatu dengan menggunakan kedua kakinya, karena ia tak memiliki sepasang tangan. ia tetap memiliki semangat untuk bertahan meski ia mengganti semua fungsi tangannya pada kakinya. ia mengganti popok, menyetir mobil, olah raga, memasak dan segalanya … dengan kedua kakinya. “kalau kamu kehabisan energi untuk menulis, lihat saja klip ini. ia tak menyerah meski ia kehilangan bagian terpenting dari tubuhnya …” ujarnya.
dan kami kemudian berbicara soal menulis. soal buku. soal pekerjaan menjadi wartawan. soal prabowo dan habibie. soal energi yang harus tetap kami simpan untuk menulis-menulis-menulis-menulis- …
kami memang sudah berjodoh sejak sekitar delapan tahun silam. —hah, ternyata sudah satu windu ya mas!— kamu memulai langkah kami dengan start yang sama, meski tidak di usia dan tahun yang sama. iya, kami memulainya dari harian Bernas di Jogja, di lembar pelajar Gema. kalau dihitung dengan Gema, mungkin sudah lebih dari 8 tahun. nah, 8 tahun itu pijakannya ada di halaman rumput Kanisius, tahun 1998. howh … hubungan pertemanan-persahabatan-persaudaraan ini berjejalin hingga saat ini, saat kami bertumbuh dewasa bersama.
ia lelaki muda dengan sejumlah mimpi yang kemudian dikompromikan dengan hidup-saat-ini. menanggalkan diri dari pekerjaannya sebagai wartawan, dan menantang diri untuk menulis buku dengan jadual tenggat penerbit. hingga saya kemudian memberanikan diri untuk bertanya. ” … kamu menulis dengan hati?”
ada banyak hal diluar sana yang –ternyata– memaksa kita untuk tidak selalu menulis dengan hati. misalnya saja, deadline yang sudah ditetapkan oleh penerbit. pendeknya: kejar tayang. howh. ia kemudian menunjukkan salah satu pekerjaan besarnya saat ini: menulis tentang sebuah panti asuhan di indonesia. ”kecuali ini …”
tenggat. semangat menulis. buku. wartawan. penerbit. mimpi. deadline. prabowo. habibie. adalah sejumlah keyword percakapan kami pagi tadi. iya, percakapan dan sebuah usaha untuk memberi nutrisi pada jiwa saya yang tengah me-layu. terima kasih untuk nutrisi jiwanya.
bertemu dengan kalian di ujung minggu ini membuat tenaga saya berlipat-lipat-lipat-lipat. meski Jogja terasa penting di ujung minggu, namun bersama kalian di ujung minggu ini, membuat sabtu-minggu saya tak kehilangan keriaannya. energi saya sudah bertambah. saya sudah siap kembali untuk menciptakan garis lengkung keatas di ujung bibir saya. saya juga sudah siap kembali menulis dengan kecepatan 5000 karakter per jam. terima kasih.
2006-12-03 » femi adi soempeno
11 December 2006 @ 4:27 am
membaca blognya femi…
membaca blognya femi…
membaca blognya femi…
akhirnya,
ngasih komen..
best regards,
nokturno