Meong di Fatmawati
Monday 2 April 2007 - Filed under friends from heaven + kegemaran + kuliner
“Monggo … Monggo …” sapa hangat seorang lelaki muda. Ia langsung beranjak dari bangku panjang dan menyambut kedatangan pengunjung angkringan. Sapa halus dengan aksen Jawa yang begitu kental sepertinya tak sepadan dengan dandanan sangar kaos hitam, rambut gondrong dan jenggot tipis. Kemudian satu orang lainnya yang juga gondrong buru-buru mengambilkan piring plastik kecil berdiameter 10 cm. “Ngunjuk napa?” tanyanya halus. Artinya, mau minum apa.
Rupanya keduanya adalah pemilik Angkringan Nasi Kucing Fatmawati itu. Namanya Handayani dan Tri Wibowo. Setiap hari, keduanya ikut menggawangi angkringan itu kendati empat temannya sudah bisa meladeni pengunjung. Kalau dihitung, semalaman antara pukul 19.00-02.00 tak kurang dari 100 orang meludeskan dagangan Yani dan Bowo. “Banyakan yang beli orang Jogja, Solo dan Semarang yang biasa di kampunya ada angkringan atau hik,” terang Yani.
Yani dan Bowo memang menggotong konsep hik atau angkringan dari kampung halamannya di Solo. Merunut sejarahnya, warung makan dan jajanan murah ini ditradisikan oleh Mbah Pairo. Konon, lelaki asal Cawas, Klaten, Jawa Tengah itu sudah mengusung dua pikulan ting-ting hik ke Jogja sejak tahun 1950-an. Ia menggelar dagangannya di emplasemen Stasiun Tugu Yogya sembari teriak, “Iyeeeeekk …” Sejak itulah, hik yang mulanya dikenal di Solo ‘menular’ ke Jogja oleh tangan Mbah Pairo dengan sebutan angkringan.
Tahun 1969 angkringanitu diwariskan Mbah Pairo kepada putranya, Siswo Raharjo atau yang biasa dipanggil Lik Man. Kini Lik Man mangkal di Jalan Bumijo, persis di sebelah utara Stasiun Tugu. “Di Solo, disebut dengan hik, sedangkan di Jogja disebut dengan angkringan,” tukas Yani. Namun, istilah angkringan lebih akrab ketimbang hik. Itu sebabnya, Yani dan Bowo memilih untuk menyebutnya dengan angkringan kendati keduanya berasal dari Solo.
Nyatanya, Bowo dan Yani berusaha menggandengkan hik dan angkringan. Coba tengok angkringan mereka yang letaknya sekitar 300 meter dari ITC Fatmawati menuju Lebak Bulus. Hik di Solo, menurut Yani, pengunjungnya biasa duduk lesehan dengan tikar. Sebaliknya, para pengangkring di angkringan Jogja lebih suka nangkring dan menyantap makanan di bangku panjang di gerobak. “Disini, yang mau lesehan ya bisa, yang mau duduk di bangku juga bisa,” kata Bowo.
Kalau diamati, hanya satu-dua orang saja yang memilih untuk duduk di bangku panjang sambil menghadapi beragam makanan di gerobak. Selebihnya, orang-orang lebih memilih untuk duduk santai di tikar maupun terpal yang digelar Yani dan Bowo. Eh, meski mereka ini juragan angkringan, tetapi keduanya tak ongkang-ongkang kaki saja lo. Mereka juga ikut menggelar tikar, mengantarkan makanan bahkan nimbrung ngobrol dengan para pengangkring.
Menu andalannya nasi kucing
Layaknya angkringan yang ada di Jogja, Solo maupun Semarang, angkringan di Fatmawati ini juga menyuguhkan nasi kucing. Sebutan nasi kucing atau sego kucing ini muncul karena guyonan lawas: porsi nasinya kira-kira hanya tiga kali suapan, dengan pasangan lauk berupa bandeng sambal maupun oseng-oseng pedas seperti makanan untuk kucing. Sementara ini, baru dua jenis nasi kucing itulah yang disediakan Bowo dan Yani. Di Jogja maupun Solo, lebih bervariasi lagi.
Aslinya, nasi kucing ini dibungkus dengan koran dan daun pisang dan diikat dengan karet. Warna karet inilah yang menentukan lauk nasi kucing. Upamanya, bungkusan dengan karet hijau menandakan itu adalah nasi dengan sambal teri. Atau, bungkusan dengan karet kuning isinya nasi dengan kering tempe. Di Jakarta, desain ini berubah, tak ada lagi ikatan karet pada bungkusan nasi, tetapi menggunakan penjepit besi. Juga, tidak ada koran dan daun pisang sebagai pembungkusnya, melainkan kertas cokelat.
Nasi kucing ini pun dibungkus kerucut, padahal di Solo dan Jogja dibungkus biasa. “Kami bikin beda, soalnya biar keranjangnya juga muat banyak,” terang Bowo. Menurutnya, dengan bungkusan kerucut begini, jumlah yang tertampung dalam keranjang di gerobak menjadi lebih banyak. Selain itu, bungkusan kerucut ini merupakan penanda ‘angkringan Jakarta’. Harga per porsinya Rp 1.500. Untuk nasi yang lauknya oseng-oseng pedas dengan bandeng sambal, ada coretan huruf ‘B’ untuk bungkusan bandeng sambal.
Asal tahu saja, bandeng sambal maupun oseng-oseng pedas racikan Yani dan Bowo ini cukup nendang rasanya. Lauk ini diletakkan bersamaan dengan nasi dan dibatasi dengan secuil daun pisang. Meski ukuran bandeng maupun oseng-osengnya secuil, jangan remehkan dulu. Bisa jadi, hingga suapan terakhir, rasa pedas itu belum juga hilang dari mulut anda.
Selain nasi kucing, angkringan milik personel grup band Dreamer ini menyediakan beragam sate-satean. Upamanya, sate ati ampela, telur puyuh, paru, wayang atau tulang muda sapi. Semuanya dibanderol Rp 2.000 per tusuk. Penandanya, sate ini memiliki cat hitam di bagian ujung tusuknya. Sedangkan sate sosis, usus, kulit, kikil, iso dibanderol Rp 1.500 per tusuk. “Kalau hari spesial, ada sate sayap, udang, kerang, belut,” jelas Bowo. Nah, kapan hari spesialnya? “Kalau di pasar ada sayap, udang, kerang dan belut!”
Ada juga tahu dan tempe bacem dan beberapa gorengan seperti tempe dan gembus goreng. Makanan yang paling laris dan selalu habis adalah semua sate yang banderolnya Rp 2.000. Menu lain yang selalu sold out adalah owol, rondo royal dan apolo. Owol ini terbuat dari tape yang digoreng kemudian dibakar, dan diberi meses dan susu. Sama seperti owol, rondo royal ini bahan bakunya pisang. Nah, kalau apolo, itu sama saja dengan jadah bakar.
Kalau mau rasanya lebih lezat, jangan buru-buru melahap sate-satean dan gorengan setelah memilih dan meletakkannya dalam cawan. Rasanya akan lebih nikmat bila dipanaskan sebentar diatas anglo atau tungku. Selain lebih hangat, gigitannya pun akan lebih terasa.
Diangkut dari Solo
Setiap hari, pengunjung di angkringan ini menghabiskan sedikitnya 300 bungkus nasi. Sate-satean dan aneka gorengan maupun baceman yang ada disana, Yani dan Bowo tak bisa menyebutkan angka persisnya. “Biasanya perbandinagnnya, satu nasi dimakan dengan empat jenis sate maupun gorengan,” katanya. Ongkos belanja semua kebutuhan harian ini sekitar Rp 400 ribu-500 ribu setiap hari kerja, sedangkan ujung minggu bisa mencapai Rp 700 ribu-800 ribu.
Beberapa bahan baku dibeli Yani dan Bowo dari pasar Kebayoran Lama. Setiap pagi pukul 09.00, vespa tua yang mereka kendarai mengusung semua belanjaan dari pasar. Tetapi, ada beberapa bahan baku yang masih harus dikirimkan dari Solo dan Wonogiri, yaitu tape ketan hijau, teh dan jahe. “Stoknya biasanya untuk seminggu sekali, nanti ibu dan kakak saya yang mengirimkan dari Solo,” kata Yani.
Nyatanya, trik untuk menjaga cita rasa makanan dan minuman sesuai aslinya ini cukup menyedot pengunjung. “Saya lihat, mereka itu minimal meminum 2 gelas teh selama nongkrong disini,” terang Yani. Bisa jadi, karena teh itu bukan hasil belanjaan dari pasar di Jakarta, tetapi dari kampung asalnya. Tak hanya bahan baku saja, bahkan anglo atau tungku, dan ceret atau teko pun dipesan khusus di Solo.
Hitungan Yani, setiap pengangkring setidaknya menghabiskan Rp 7.000-15.000 sekali makan. Toh, angkringan yang mulanya dikenal sebagai warungnya rakyat lapisan bawah ini tetap menerapkan manajemen modern layaknya perbankan, yaitu kepercayaan. Itu sebabnya, Yani dan Bowo percaya saja pada pengangkring yang mencomot makanan di gerobak angkringan. Mereka bisa saja menghitung jumlah nasi yang dilahap dari jumlah bungkusan. Atau, menghitung sate berdasarkan tusuknya. Bagaimana dengan gorengan? “Ya, kami percaya saja,” jawabnya pendek.
Sejatinya, angkringan di Fatmawati ini bukanlah satu-satunya angkringan di Jakarta. Di Kalimalang, Duren Sawit dan Blok M juga ada angkringan yang sejenis. Semuanya memberi banderol harga yang murah sekaligus suasana santai. Asal tahu saja, di angkringan seperti ini, anda bisa makan sambil tiduran, jegang atau mengangkat kaki, teriak, bahkan mengeluarkan sumpah-serapah.
Jadi, kapan kita ngangkring?
Memupus Mimpi Hik Rock Café
Rupanya, bukan hanya Mbah Pairo saja yang ingin mengusung tradisi desa ke tengah gemerlap kota. Handayani dan Tri Wibowo adalah salah satunya. Sudah sejak tahun 1999 lalu keduanya ingin membikin hik atau angkringan di Jakarta. Cekaknya modal dan kesibukan yang tanggung untuk ditinggalkan, membuat dua lelaki muda asal Solo ini menunda keinginannya. “Kalau di Jakarta ada Hard Rock Café, kami ingin bikin Hik Rock Café,” seloroh Yani.
Begitu ada duit di kantong Yani, ia segera membelikan sepasang roda. Padahal, ia tidak tahu persis kapan bakal memulai membikin gerobak angkringan itu. Setelah sedikt demi sedikit modal terkumpul, Yani dan Bowo pun serius membikin Jogja-Solo-Semarang mini di Jakarta. “Orang Jogja, Solo dan Semarang itu paling tahu dan ngerti soal angkringan,” imbuh Bowo. Maka, Juni 2006 silam munculah Angkringan Nasi Kucing Fatmawati.
Memang, sulit menemukan angkringan di belantara Jakarta. Tidak seperti di Solo maupun Jogja yang setiap 100 meter angkringan dan hik mudah untuk dijumpai. Ceruk inilah yang dimanfaatkan oleh Yani dan Bowo. “Populasi orang Jawa cukup banyak di Jakarta, makanya kalau kami buka disini, pasarnya sudah jelas,” cerita Yani.
Maka Yani pun memesan gerobak khas angkringan seharga Rp 2,5 juta. Bentuknya khas, gerobak kayu yang bisa mewadahi makanan di keranjang plastik dan tiga buah ceret. Tak bisa dijelaskan, mengapa harus tiga. Kalau di jogja, angkringan seperti ini kerap diplesetkan menjadi ‘Kafe Ceret Telu’. Total semua modal awal sekitar Rp 5 juta.
Soal tempat, agaknya Bowo dan Yani beruntung. Halaman dari empat rukan di bilangan Fatmawati didapatkannya dengan gratis. “Dari teman, kami tidak membayar sepeserpun,” kata Bowo. Dus, di jalur ramai inilah angkringan milik anggota band gothic metal Dreamer ini tak pernah sepi. Dari pengamatan KONTAN, orang yang kebetulan lewat saja kemudian bisa langsung berhenti dan mampir untuk menyantap sego kucing.
Selain untuk membikin gerobak, Yani dan Bowo masih mengeluarkan setidaknya Rp 120 ribu untuk modal membikin masakan pada hari pertama. Buka pertama, makanan dan minuman hanya ludes senilai Rp 90 ribu. Dari 30 bungkus nasi yang dibikin, menyisakan 2 bungkus. Sementara, lauk yang dibikin juga belum banyak, contohnya kikil, kepala, ceker, tahu dan tempe, ampela ati, usus dan telur.
Karena tak semua orang jawa di Jakarta tahu keberadaan angkringan ini, 2 minggu pertama Yani menerapkan sistem ntul. “Saat itu, kami bawa teman banyak, agar terkesan ramai,” katanya. trik ini berhasil mengundang rasa penasaran orang-orang yang lewat maupun yang belum tahu kalau ada angkringan di Fatmawati.
Selain itu, mereka juga gencar membikin stiker, selebaran yang berisi harga dan mempopulerkan angkringan tersebut melalui jejaring internet. “Sebentar lagi kami mau bikin merchandise angkringan,” bisik Yani.
Layaknya angkringan di kampung-kampung di Jogja, Solo dan Semarang sana, angkringan di Jakarta ini juga menganut aliran ‘misbar‘ alias gerimis bubar. Jadi, kalau tengah asik-asiknya menyantap nasi kucing dan tusukan sate usus lalu gerimis merintik, bubar sudah angkringan ini. Yani dan Bowo sengaja tidak memasang tenda. “Nanti kalau saya pasang tenda, pengunjung saya malah bisa protes, soalnya dari asalnya nggak pakai tenda!” cetus Yani.
ANGKRINGAN NASI KUCING FATMAWATI
Jl. Fatmawati, jakarta selatan
300 meter setelah ITC Fatmawati, ke arah Lebak Bulus
Buka: 19.00-02.00
2007-04-02 » Femi Adi
22 December 2007 @ 1:17 am
saya sering ke angkringan ini heheh thx infonya
21 March 2008 @ 7:05 pm
thx buat infonya..
saya asli orang solo, dan ga bingung lagi kalo ntar ke jakarta mw ngangkring.
emg bener, di solo tuh,angkringan disebut HIK. tp jgn salah, walopun sbenernya berkonsep warung rakyat, di solo banyak juga HIK yg modelnya ud kayak tempat nongkrong kelas atas. biasanya type HIK sprti ini, varian harga makanannya sedikit lebih tinggi dari HIK biasa. bahkan, HIK-HIK tersebut kini juga sudah menjadi tempat nongkrongnya orang kelas atas, bahkan sering juga jadi tempat rapat bisnis. emang enak sekali nongkrong di HIK, kita bisa bebas .itu yg seringkali jd masalah,dimana orang2 yg nongkrong di angkringan/HIK sering diidentikkan orang2 yg liar, padahal ga semuanya begitu. saran saa, kalo sedang ke kota solo, mw makan di HIK, pintar2 lah memilih HIKnya,karena di solo, hampir tiap 100m tu ada HIK, dan kebanyakan emang jd tmpat nongkrong anak2 yg “liar”. carilah HIK yg kondusif,walopun dapet harga cenderung lebh mahal.tp,harga HIK mahal di kota solo, hampir sama dengan harga angkringan di jakarta koq.
thx
5 June 2008 @ 3:37 am
sekarang kangen ku dah terobati di depok ui udah ada sego kucing. namanya warung nasi kucing hek solo, weleh-weleh suasananya kya di jl.slamet riyadi,solo mak nyos deh…!!