gudeg yu djum, gudeg bu widodo dan gudeg fatmawati
Saturday 27 June 2009 - Filed under friends from heaven + kegemaran + kuliner
entah, mengapa saya tak begitu suka gudeg.
“kamu kan orang jogja?” tuding sejumlah teman maupun kerabat. ya, ya, saya memang orang jogja. sayangnya, saya tak begitu suka dengan pekatnya buah nangka dan rasa legit yang mencuat dari masakan yang diolah berulang, dan berulang. gurih dari suwiran ayam, tahu dan ati ampela, juga rasa pedas yang sedikit menyeruak dari krecek, membikin lidah saya tak terasa dizolimi dengan rasa manis gudeg.
nyatanya, gudeg juga meninggalkan beragam cerita mengenai kesetiaan, pertemanan, kehangatan dan kegilaan-di-masa-muda.
“minggir, minggir sebentar. lapar. beli gudeg, sama minta es jeruk. kepalaku pusing … ” begitu rengek saya, saat subuh sebentar lagi menjelang dan keramaian mulai usai. tubuh ini kadung letih, namun lapar mendadak mendera. juga, saya butuh untuk meminggirkan hangover dari kepala saya. pada mereka, teman-teman baik saya, paimun, bram, aan, arun, saya meminta agar kami menepikan kendaraan untuk mampir di warung gudeg.
dan saya tak pernah menyantapnya. sebaliknya, sembari duduk dengan ekstra tenaga agar terlihat baik-baik saja, saya justru menendang es jeruk. sesudahnya, setengah-tertidur dengan kepala yang superpening dan menunduk tanpa bisa tegak kembali. satu kali, dua kali, tiga kali, … dan selalu seperti itu. pesan gudeg dan es jeruk, dan saya meninggalkannya tanpa menyantapnya. dan ini menjadi olok-olok saban kami mulai memarkirkan kendaraan di kawasan bising ala anak muda. “habis ini aku nggak mau berhenti beli gudeg dan es jeruk ya … ” kata mereka.
yang paling suka gudeg yu djum adalah abang. “mbakyumu biyen kerep banget mbungkuske gudeg yu djum,” katanya. (kakakmu dulu sering banget membungkuskan gudeg yu djum)
ow ow ow. abang memang suka gudeg. dan, harus gudeg yu djum. lebih dari sekadar kelezatan dari seporsi gudeg dengan ayam dan telor, abang sering bercerita bagaimana perempuan hangat itu juga meladeni semua kesukaannya. termasuk, membawakan gude yu djum saban bertandang ke jakarta.
tapi cerita tentang gudeg-dari-mbakyu-buat-abang kini sudah usai. hanya selorohan getir berbaur dengan geli yang menjejak.
lain dengan gudeg kebondalem bu widodo. gudeg ini bisa dijumpai dua puluh meter dari perempatan tugu di jalan mangkubumi. ibu sering membungkuskan gudeg bu widodo untuk simbah putri, dulu. dan hingga kini, gudeg bu widodo menjadi seperti ‘gudeg keluarga’. beberapa waktu lalu, saya dan esti bahkan meminta bu widodo mengkardusi gudegnya dalam jumlah yang tak sedikit untuk acara keluarga.
seseorang yang pernah bersisian dengan saya satu dekade silam, belakangan sering minta dibawakan gudeg dari jogja; sembari mengingatkan cuilan memori tentang gudeg yang dulu pernah kami cecap di perempatan jokteng. ah, gudeg di perempatan jokteng itu bahkan nyaris sudah minggir dari ingatan saya.
ya, dan gudeg bu widodo inilah yang saya angkut untuknya. sewadah gudeg, telur dan tahu. tanpa suwiran ayam, karena dia bukan pemakan daging-dagingan. “gudegnya enak … makasih ya,” katanya, tempo hari. padanya saya mengumbar gombal, “pasti enak, soalnya bawanya dengan penuh cinta.”
laki-laki yang pernah bersisian dengan saya satu dekade silam ini juga sering membujuk saya sembari mengobral janji untuk mencicipi gudeg bersama saya di bilangan fatmawati, jakarta. “kata orang-orang, gudeg disana enak. yuk, ke gudeg fatmawati. nanti kamu kujemput,” katanya.
gudeg. yang paling enak, ya disantap di jogja. bukan di jakarta. dan mungkin, bukan dengan pemburu warta itu. *terus, sama siapa ya?*
2009-06-27 » Femi Adi
29 June 2009 @ 6:24 pm
dulu aku nggak suka gudeg. tp gara2 suamiku, aku jd mulai suka. padahal suamiku sama sekali bukan orang jawa, dan sama sekali tak ada darah jogja di tubuhnya. e, malah dia yg lebih kenal gudeg yu djum…
29 June 2009 @ 8:10 pm