Sunday 23 October 2011
-
Filed under
cerita cidodol residence + friends from heaven + kegemaran + kuliner + pit-pitan
lumpia semarang dan siomay super di depan theresia kok ngawe-awe (melambai-lambai), saat saya berencana menuju kopitiam oey di sabang, pagi ini.
owh, dem. saya pun memarkirkan sepeda mungil saya di depan keduanya.
siomay super seporsi saya pesan, minus pare. setelah saya mendapatkannya, saya pun tenggelam dalam kelezatan potongan siomay, sambil mengumpat kecil lantaran saya tak bisa mendapati kerabat yang mengajak saya untuk temu janji pagi ini. ya sudahlah, mungkin dia membutuhkan istirahat yang lebih panjang dari hari biasanya. mungkin mimpinya tak cukup melegakan untuk dihentikan jam 6 pagi di hari minggu. mungkin seseorang tengah memeluknya dengan hangat, tak ingin dilepasnya.
dan seporsi siomay super terus mememenuhi mulut saya.
siomay theresia ini bersisian dengan lumpia semarang, yang gerobaknya tak cukup kompak untuk sama-sama berada pada posisi vertikal maupun horisontal. ya, sementara gerobak si lumpia itu menjejer horisontal, si siomay vertikal. hanya saja, keduanya cukup akur untuk memiliki satu bangku yang sama untuk berbagi.
“lumpia basah, lima, bungkus ya pak …” pesan saya.
sesudahnya, saya berbincang dengan bapak penjual lumpia. tentang kulit lumpia yang dibikinnya saban pagi sebanyak 300-400 lembar sehari, tentang kulit lumpia yang tak boleh kena angin, tentang kulit lumpia yang tak bisa menggunakan kulit lumpia bikinan ‘kemarin’. entah, kenapa saya banyak bertanya tentang kulit lumpia saja, dan tak bertanya soal isinya.
saatnya pulang. entah, ada perasaan bahagia membuncah setelah memenuhi lambaian siomay super dan lumpia semarang.
Comments Off ::
Share or discuss
::
2011-10-23 ::
Femi Adi
Friday 21 October 2011
-
Filed under
cerita cidodol residence + friends from heaven
Kami membincangkan tentang surat pernikahan palsu yang dibikin oleh teman saya untuk mengakali aturan kos-kosan yang engga memperbolehkan laki-laki masuk ke kamar perempuan, saat kemudian dia, si ibu, menunjukkan surat pernikahannya.
Spontan saya bertanya, “Kamu kapan sih menikah waktu itu? Bulan apa ya?” saya mencoba mengingat, sambil memburu ‘bulan’ di surat pernikahan mereka, dan saya menemukannya, tak lama setelah ia juga menyebutnya: November 1999.
Saat saya mengamati foto suaminya yang masih lugu, kurus Dan belum terkenal di surat pernikahan itu, saya tidak sadar bahwa si kecil, anak semata wayang mereka, menghitung bulan pernikahan ayah dan ibunya dengan bulan kelahirannya. “Empat bulan! Kok bisa cuma empat bulan?” Ujarnya, sontak.
Cep klakep. cangkem saya pun mengatup. saya hanya bisa cengengesan saja. Oops! saya pun jadi salah tingkah sendiri. Ketoke cangkem, ati, karo utekku ki ga cukup peka untuk membaca `anak dibawah umur’ ini.
dia, ibunya, mencoba menjelaskan bahwa si ibu dan si bapak melalui masa muda/remaja yang tak biasa, Dan si kecil pun terlihat mencoba memahaminya, sambil tangannya masih menunjukkan angka empat. OMG! saya mencoba mengalihkan perhatiannya agar makan separo krupuk yang belum habis; tapi dia tetap terus bertanya dengan kelahirannya yang cuma ‘empat bulan’ di kandungan itu. Hahahahaha …
ya, saya lupa kalau si kecildibesarkan oleh dua orang hebat yang saya kenal, yang selalu mengajarkan pemikiran-pemikiran yang terbuka yang harus dibaca sesuai konteksnya tanpa meninggalkan pemahaman ‘anak dibawah umur’.
” … tante, kalo di sekolahku itu anak-anak malah pada bilang f*ck ketimbang jancuk, Dan didiemin sama kepala sekolah. Kalau sama guru, bilang begitu dimarahin, tapi sama kepala sekolah malah engga,” katanya, saat si ibu ada di toilet, usai kami membincangkan ujaran-ujaran ala jawatimuran.
Pada si kecil, saya bertanya, bagaimana anak-anak itu mengenal istilah itu. Darimana.
“Dari lagunya XXXXXXXX (saya tidak ingat nama band yang disebut nya), kan di liriknya ada. Itu anak-anak pada nyanyiin. Tapi diluar itu juga pada ngomong sendiri. Ya yang bilang jancuk itu banyak. Tapi yang bilang f*ck itu juga banyak juga.”
Sesudah ibunya selesai dari toilet, kami tak membincangkannya lagi. Barangkali karena si kecil terus ikutan ke toilet, Dan sesudahnya kami langsung menyambangi kedubes jerman.
Saat memilih lunch, saya meminta si kecil untuk memilih mau makan ikan, ayam, sapi. Minus babi, karena saya belum menemukan resto dengan ada babinya di kawasan senayan. Dan dia memilih sapi.
Di Plasa Senayan, kami duduk Dan memilih menu di De Luca, resto anyar yang baru dibangun belum lama ini. Umur membuat saya memilih salmon; sementara si ibu memilih lasagna. si kecil memilih rib eye wagyu dengan grade daging 8+.
“Wagyu … itu sapinya dipijetin … ” komentarnya. saya rasanya pengen ngakak terguling-guling kayak icon chat di yahoo itu. Pergaulan, perbincangan, bacaan, pasti membawanya berkomentar terhadap kobe-style beef ini. saya tidak pernah membayangkan anak umur sebelas/dua belas tahun akan cukup tahu bedanya wagyu steak dengan non-wagyu steak.
pada si ibu dan si bapak, saya bilang bahwa anak mereka ini sungguh ajaib. Salut buat mereka yang bisa mengajari anak semata wayangnya untuk memahami hal-hal diluar usianya.
Comments Off ::
Share or discuss
::
2011-10-21 ::
Femi Adi
Monday 17 October 2011
-
Filed under
kubikel
saya mulai membencinya.
iya, sungguh. saya mulai membencinya. kemalasannya yang amat sangat, komentarnya yang bikin nyebelin, membuat saya muak.
dan kini giliran saya ketularan flu-nya gara-gara dia hanya menggunakan masker setengah hati. kadang dipake, kadang enggak. dem. superdem.
saya doain semoga anaknya ga menuai karmanya.
Comments Off ::
Share or discuss
::
2011-10-17 ::
Femi Adi
Sunday 16 October 2011
-
Filed under
cerita cidodol residence
pada diri saya sendiri, saya bilang: “ini masih di jakarta kok. jadi tenang saja …”
saya melewati kawasan di daan-mogot, pesing, jelambar dan sekitarnya, dengan perasaan yang carut-marut. entah, biasanya saya pede saja melewati jalan yang belum pernah saya lewati. bukankah tersesat itu menyenangkan?
ah, tapi kali ini tidak menyenangkan.
saya barusan melayat mertua esti, kakak saya. jenazahnya disemayamkan di rumah duka jelambar. saya tak cukup familiar dengan kawasan itu. ada banyak truk besar dan angkot hingga sepeda dengan sarat muatan yang saling berebut jalan. apa yang lebih baik dari itu? rasanya tak ada.
dan kini saya harus melewati satu kawasan, dengan jalanan yang sangat gelap, tak ada tanda-tanda angkot, bensin saya sudah kelap-kelip tanda mau habis, saya tak tahu arah, meski itu masih jam 8 malam!
memang masih ada sejumlah kendaraan. hanya saja, tetap itu tak membuat hati saya tenang.
“ini masih di jakarta kok. jadi tenang saja …” kata saya pada diri saya sendiri, berulang kali. hingga saya menemukan pertigaan daan mogot, yang mengharuskan saya membelok ke kanan, lalu ke kiri menuju jalan panjang.
asik. rumah sudah dekat.
Comments Off ::
Share or discuss
::
2011-10-16 ::
Femi Adi